July 31, 2008

my hands are cold...

Sitting here, contemplating my fate… Going through old messages, reading old notes… Nothing is forgotten… Nothing… A familiar image of a very short time… Over and around me everywhere I go, everywhere I look… If it’s not real, then why do I have the feeling of being watched? When the only thing I wanna do is cry, the sound wakes me up suddenly, one particular image flashes brightly, one particular name that turns my dream to nothing but gray… There! The answer is so loud and clear! There’s such finality in that little travel plan. Why is the heart so stubborn? Refusing to believe, declining to accept, rejecting every logic…

Unnoticed, unheard, unseen… Keep wondering whether you remember me at my best or whether you remember me at all… What does it take? What should I do? I continue to sit in silence, hoping one of these days, you may stumble across… I can only hope you’d do it in time, otherwise I would have drifted too far... Fading out of the lives of everyone… nearly unnoticed…

Lately, days and nights are so full of secrets. Everything’s hidden. Yet you still appear so beautiful. Dangerously beautiful. And swimming in beauty, there’s a glimmer of hope that the undiscovered knowledge favors my wishes… The hope of having you waiting around the next corner… to wipe my tears away, to hold and warm my cold hands… Because I can’t let myself believe that when something good is gone, it will never come back around…

Enough of this curse. I know there’s something there… You’re not invincible… That I’m sure… Enough of these trivial things. I know it’s getting too hard to ignore… You’re not immune to morning sunlight and evening twilight… That I’m sure… Again, awaiting the next full moon… Yup, that will be the time… It must be the time to take in the fullest essence of this life… You…

July 30, 2008

Global Warming 101

The Golden Triangle

While Thailand is always highly regarded by the shoppoholics, it is often underrated for adventure. The landscape has everything. Let’s visit a bigger chunk of Thailand’s northern territory, appropriately known as “The Golden Triangle”.

Stunning scenery, towering mountains, exquisite heritage temples and exotic hill-tribe living represent a nation both deeply traditional and thrillingly young. Yes, you must sort of exit the most favorite tourist routes to call on the far north, by taking an extra flight from Bangkok to the “Rose of the North”, the eclectic city of Chiang Mai. As you arrive, direct your trip to the most southern point of the Golden Triangle, right on the banks of the Mekhong River. This is the ancient city of Chiang Saen, the birthplace of Mengrai, who founded the kingdom of Lanna. Around 1328, the city you see today was laid out when King Saen Phu, Mengrai’s nephew moved the capital of Lanna to Chiang Saen, which he obviously named after himself. Chiang Saen today is an interesting place to visit. You can easily make out the remains of most of the city's walls, as well as several temples. In the grounds of the old Wat Mahathat is an information center that can provide you with the most current happenings in this city.

At the top of a hill, a short distance from the northwest corner of Chiang Saen is the temple of Wat Phra Dat Jom Kitty. The temple is thought to pre-date the founding of Chiang Saen and was practically in ruins until recently. It has been restored with a new wiharn and made a royal temple. Adorned with intricately detailed gable, it’s a beautiful example of Chiang Saen style. Inside, you can find a large Buddha sitting serenely under an artificial Bodhi tree.

Then, a lazy afternoon can be spent by taking a boat tour on the Mekhong River, which will cruise right into the heart of the Golden Triangle, that is where borders of Thailand, Myanmar and Laos met. The 10th longest river in the world and the longest river in Southeast Asia, the Mekhong runs through narrow valley towards the Yunnan Province of China. While via the Golden Triangle, the river flows into Vientiane Plain. Once notorious for widespread opium production, the region remains a top attraction for its picturesque views, tranquil indigenous hill-tribe living along the riverbanks and an exotic sense of adventure all the way!

That is not all of course. You still must pay a visit to Lisu Village and Phami Akha hill-tribe community center, join an elephant safari at the Maesa Elephant Camp and buy handicrafts in Sankampaeng District. Not to mention the orchid farm and a stopover at the famous Buddha image of the Wat Phra Singh. All in all, despite its notorious past, the Golden Triangle provides a rare chance to reconnect with the soul inside us, a journey of the heart.

July 29, 2008

Ave Maria

I am cornered, Father…
even the trail can no longer be seen
I want to fly again, Father…
free like an eagle, free like I used to be
wanting to know the sand dunes
on the only non-stop flight
that's no longer mine

I'm lounging here naked, Father…
every word has been said in the dark
I'm out of words now
I've tried...
I've tried...
I've tried...
I've tried...
everything is so unfamiliar…
everything is wrapped in fog…

I'm tired, Father…
thrown between a trench, an old house and a story
like a boat without an ocean
glorious flutters of the eagle are now darkly scandalized
unyielding… I'm losing my waves, Father…
I want to walk along the coast of hope
yet only gloom waits at its end, saying goodbye…

I want to laugh without restraint, Father…
happiness that once dropped by for a while
but now… when the church orchestra plays Ave Maria
I want to run, Father… to Your embrace, if you still care
take me with You, Father…
I'm exhausted…
I give up…
I don't understand this particular will of Yours…

July 26, 2008

Sepotong Doa di Gede-Pangrango

Aliran hangat membanjiri hati dengan memori. Setiap pohon dan setiap lambaian daun, setiap rekah bunga dan setiap suara satwa, bahkan hembusan angin dan vibrasi bumi saat telapak memijak, semua seolah menyapa rindu, “Dari mana aja? It’s been a long time…”

24 tahun lalu, this used to be my playground. Taman bermain yang selalu sukses melenyapkan resah gelisah, nyaris setiap akhir pekan. Usiaku baru 15 tahun dan Taman Nasional Gede-Pangrango, yang saat itu hanya dikenal sebagai Gunung Gede (2.958 mdpl) dan Gunung Pangrango (3.019 mdpl), jadi tempat menumpahkan energi menyebalkan setelah seminggu bergumul dengan kimia, fisika dan pelajaran lainnya. Kala teman-teman sebaya menghentakkan kaki di lantai dansa atau jalan-jalan sore di Jl. Melawai Raya, aku lebih suka menyatu dengan elemen-elemen alam di kawasan Cibodas ini. Dan menjadi salah satu elemennya.

24 tahun sudah. Mendakinya sekarang tak lagi semudah dulu, tapi kesan yang ditinggalkan setiap kaki melangkah tetap menyatukan dengan alam yang telah mengajarkanku tentang cinta dengan cuma-cuma. Mengajarkan kemuliaan Tuhan tanpa perlu buka buku agama. Merasakan sentuhan kasih abadi-Nya tanpa berpandu Kitab Suci. Inilah hidup yang sesungguhnya.

Pos TNGP - Air Terjun Cibeureum, ± 2,6 Km
24 tahun silam, pos TNGP hanya sebidang bangunan jelek yang dijaga satu orang, kadang dua. Namun kini, gubuk jelek itu ternyata telah dibangun menjadi sebuah pondok kecil yang nyaman, bersebelahan dengan dinding bertegel hitam dan bertulisan “Taman Nasional Gede-Pangrango”. Beberapa langkah dari situ, terdapat sebuah taman kecil dengan beberapa pondok tertata rapi. Inilah pusat informasi bagi para pendaki. Dari sini, pendakian dimulai santai, melalui jalan setapak beralaskan batu-batu sungai yang sengaja dibuat landai. Tak sadar aku tersenyum, teringat cerita lama…

24 tahun yang lalu, aku menangis beberapa ratus meter menjelang puncak. Nyaris menyerah. Dan seorang senior pendaki mengajarkanku untuk meresapi tiap langkah. Mendengarkan suara angin di pepohonan, nyanyian burung, aliran air, gemerisik dedaunan, termasuk mengamati setiap daun kering yang jatuh ke bumi. Menyerap energi dari semua makhluk hidup yang ada di sini. Dari situlah kekuatan datang. Tak perlu jalan cepat-cepat. Jadikan setiap balutan kain di kulit menjadi bagian dari kulit itu sendiri. Jadikan tas ransel di bahu menjadi bagian dari berat badan sendiri. Jadikan jasad ini bagian dari alam. Aku pun mencapai puncak. Keampuhan nasehat itu sudah aku buktikan dalam tiap perjalanan, berat maupun ringan. Nasehat ini aku amalkan dalam setiap pekerjaan sehari-hari, agar tak pernah kepikiran untuk menyerah.

24 tahun memori aku tapaki dalam 1 jam, hingga gemuruh Air Terjun Cibeureum berdentam di hadapan mata. Tumpahan megah dari ketinggian sekitar 50 m menghantam bebatuan, tak henti, tak kenal lelah. Dan lagi-lagi... aku tersenyum sendiri …

Air Terjun Cibeureum - Sungai Air Panas, ± 3,5 Km
24 tahun kenangan terurai. Tanjakan yang harus dilalui mulai menampakkan sudut-sudut terjal, walau masih tetap cukup landai dengan batu-batu besar berserakan di sana sini. Aku teringat kata-kata sahabatku saat itu, “Batu besar nggak boleh disia-siakan.” Maksudnya, saat badan belum ‘panas’, kita jadi cepat lelah. Batu-batu besar itulah tempat istirahat yang paling ideal. Perjalanan pun jadi sering terhenti untuk menenangkan senggal napas di batu-batu. Namun saat nasehat meditasi tadi mulai ‘bekerja’, justru aku jadi malas berhenti. Istirahat terlalu lama malah mengacaukan ritme. Tak terasa, 2 jam kemudian, aku tiba di sungai kecil yang airnya mengalir tenang. Cepat-cepat aku membuka alas kaki, lalu merendam tungkai letih ini dalam airnya. Aaah… hangat merayap, memijat-mijat, lenyapkan lelah. As always, sungai air panas ini is my private spa.

Sungai Air Panas - Kandang Badak, ± 1,3 Km
24 tahun mengendap dalam dada. Berdegup jantung dibuatnya. Perjalanan masih manageable, tak terlalu ringan, tapi juga tak terlalu berat. Namun, aku tahu persis apa yang menghadang. Kandang Badak adalah ‘batas’ perjalanan yang santai ini. Setelah itu, tanjakan-tanjakan terjal dengan sudut 45 hingga 60 derajat harus dilalui sampai ke puncak. Karenanya, di sini aku istirahat agak panjang, membuka bekal makan siang, lalu tidur-tiduran dan menghimpun tenaga.

Kadang Badak - Tangga Uyo - Puncak Gunung Gede, ± 3 Km
24 tahun ternyata lama ya? Walau sering gengsi untuk diakui, biar bagaimana aku tidak lagi berusia 15 tahun… Dan kenyataan ini amat terasa saat aku berusaha memanjat tiap tanjakan, bertumpu pada akar-akar pepohonan untuk mengangkat badan. Perlahan menghadapi tantangan dalam diam, menyimpan keluhan dalam hati saja. Biar cuma Tuhan yang mendengarnya. Kawasan ini dulu punya gelar di antara anggota klab pencinta alamku. “Tangga Uyo”, begitu namanya. Karena Uyo adalah temanku yang tinggi jangkung, dan rasanya hanya dia yang bisa melalui tanjakan gila ini dengan melangkah biasa seperti naik tangga, tanpa harus bergelayutan seperti kera. Di sinilah aku dulu menangis kelelahan. Dan kenangan ini kembali membuat aku tersenyum sendiri, memberi kekuatan ekstra. Aku semangati hati sambil meraih akar pohon berikutnya, tetap berupaya mencapai puncak. Setelah 2 jam lamanya, barulah puncak gunung menyeruak, memamerkan kebesaran Tuhan berupa panorama tiada tara. Puji Tuhan…

Puncak Gunung Gede - Alun-Alun Surya Kencana, ± 1 Km
24 tahun bukan angka belaka. Perjalanan ke Alun-Alun Surya Kencana, dengkul ini mulai protes. Pegal dan kaku, seolah menolak untuk melangkah lebih jauh lagi, padahal jalannya menurun dan bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 30 menit. Namun taburan bunga-bunga edelweiss yang menghiasi keseluruhan lembah yang amat luas ini segera membuatku memarahi dengkul dan memaksanya untuk menurut. Surya Kencana yang cantik adalah tempat aku berkemah malam ini, di antara bunga abadi lambang cinta. Di sini, cinta, doa dan harapan mendadak punya makna yang suci, bukan sekedar keinginan duniawi. Di Surya Kencana, hidup ini jadi punya arti. Aku pejamkan mata. Dan tanpa menengadah, tanpa harus menatap langit, aku tahu, Tuhan hadir di hati.

Thank You, my Lord, my SaviorYes, i'm the fool who always attempts to accomplish near-impossible goals with almost reckless abandon. Yes, I always want what I can't have. Tapi berbekal keabadian cinta Surya Kencana, aku tetap menanti janji-Mu, kabulkan doaku…

lovingly dedicated to that particular little corner of my soul where you have lived and enabled me to always see beautiful sceneries 26.07.08

[aerial photo by: Jez O'Hare]

Coincidence

do you believe in coincidence? well, i don't. that's why even while shivering and sighing, i swear that it means something. it must mean something. it is infinite and it is undying. but now i wonder, maybe one of us is just lying...

do you believe that our actions in life are predestined? well, i do. that's why i believe in that good day when the sun was shinning. that's why it was exactly on the day that i would otherwise be in the cemetery. i believe that the eagle has returned. but now i wonder, maybe my life is predestined to be made up of coincidences. like when stupid girls look at me like i'm stupid...

yeah... yeah... this is probably just one of life's crazy games. one of God's bad jokes. go ahead and laugh. but when (read: if) i survive through this intoxicating maze WITHOUT the prize that i want, i'll walk over to you and say, "you should NEVER talk again!" oh yes, i will hold you accountable for making me believe in this shit…

i need divine intervention. NOW!

July 23, 2008

Masih Sibuk Dengan Friendster & Facebook?

Udah lama gw gak lagi ikutan yang namanya mailing list alias milis, group chat, or whatever else namanya. Dan beberapa hari yang lalu, gw pun memutuskan untuk men-delete account friendster. Kenapa? Capek aja dan bosen! Emang kenapa sih? What’s the big freakin’ deal? Di dunia maya, ada 2 accounts yang gw masih punya: facebook dan blog ini. Facebook pun udah mulai ganggu berat dengan sejuta email-email gak penting (how popular are you?, how good of a kisser are you?, which city do you want to live in?, poke, poke, poke, someone just sent you a hug… etc., etc. etc.) yang masuk ke inbox gw setiap hari. Super gak penting!

Friendster, facebook, milis dan hal-hal kayak gini kan cuma sekedar ajang popularitas aja. I mean, fine lah kalo elo masih remaja or young adults. Tapi buat orang-orang seumuran gw, udah kepala 4 or mostly hampir kepala 4, buat apa ya ajang kayak gini? So kita nemuin temen-temen lama yang udah gak pernah ketemu sejak belasan or bahkan puluhan tahun lalu. So what? Jujur aja, sebagian besar orang-orang yang gw add sebagai “friend” sebenarnya udah gak bisa lagi dianggep “friend”. Serius deh. Selain banyak banget nama yang gw gak kenal, or nama yang gak bisa di-connect ama tampangnya no matter how hard I’ve tried searching in the deepest of my brain cells, mereka ini orang-orang yang udah sibuk sendiri, udah berkeluarga, udah kerja, dan yang terpenting… kemungkinan besar udah gak sejalan, sepikiran dan sealiran lagi ama elo yang sekarang. Semua nostalgia yang mengharu biru tentang betapa kompaknya kalian dulu, jalan bareng, makan bareng, nyontek bareng, mabok bareng, nyari pacar bareng or whatever… itu semua kan tinggal kenangan… Dengan kita bisa ketemu lagi sekarang di ajang friendster or facebook or milis, toh the best we can do cuma sekedar inget-inget masa itu, tapi gak bisa diulang lagi.

Emang ada sih yang bilang, ajang ini juga bisa dijadiin ajang networking. Ada potensi bisnisnya. Kali-kali aja ada temen yang akhirnya bisa kerja bareng atau malah jadi klien dan sumber income paling gress. Okay... tapi berapa persen sih dari kalian bisa memanfaatkan ajang ini sebagai media berbisnis dan cari duit? Ngaku deh, sebagian besar dari kalian paling sekedar seneng ngeliatin foto-foto... ih, kayak apa ya dia sekarang... nulis testimoni, atau ngirimin gambar-gambar lucu di wall, atau sekedar ha-ha-hi-hi gak jelas... Maybe, sebagian dari kalian menganggap ini “silaturahmi”. Tapi saya menganggapnya sebagai bukti nyata bahwa manusia… sudah mati. Manusia masa kini hanya seonggok daging yang punya nama. Tambah lama tambah gak jelas aktivitasnya. Tambah lama tambah dangkal pemikirannya. Tambah lama tambah hedonistik. Tambah lama tambah terpisah dari rantai kehidupan yang sesungguhnya… It’s absolutely sickening…

Manusia bukanlah spesies yang istimewa. Kita tidak punya penciuman super tajam seperti ular dan komodo. Kita tidak punya radar supersonic seperti kelelawar. Kita tidak diberikan tubuh yang besar seperti gajah atau taring yang tajam seperti singa. Kita tidak bisa terbang seperti burung dan tidak bisa hidup di dalam air seperti ikan. Kita hanya diberikan sebuah otak yang (seharusnya) sangat cemerlang dan sebuah hati yang (seharusnya) sangat mulia. Namun, ironisnya, dengan akal yang cemerlang itulah kita telah menginjak-injak kehidupan lain di muka bumi ini. Dengan akal yang cemerlang itulah kita telah merampas rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati. Dengan akal yang cemerlang itulah kita menghindari rasa sakit dan berusaha main ‘tak umpet’ dengan kematian, melalui beragam obat-obatan, mengoles beragam produk anti-aging, yang diolah dengan cara merampas dan/atau mengorbankan makhluk-makhluk lain. Dengan akal yang cemerlang itulah kita memisahkan diri dari elemen-elemen kehidupan lainnya, tanpa mampu menyadari bahwa kita tidak mungkin mempertahankan spesies kita, the human race, jika semua elemen-elemen itu punah.

Manusia tidak sadar, bahwa minyak kelapa sawit yang terkandung di begitu banyak produk kecantikan dan kebugaran, telah merampas habitat orangutan dan berbagai primata lainnya, harimau dan berbagai kucing besar lainnya, burung-burung tropis yang cantik menawan, beragam binatang melata dan amfibi, serta berjuta-juta hektar pepohonan hutan yang KITA butuhkan untuk bernapas! Manusia tidak sadar atau sekedar tidak peduli… gw udah gak bisa bedain lagi… Mana otak yang cemerlang itu? Mana hati yang mulia itu? Semua sudah mati!

Manusia tidak sadar, bahwa karena keinginan kita hidup dengan mudah dan praktis, kita telah memperlakukan bumi ini layaknya sebuah tempat sampah besar. Manusia tidak sadar, bahwa ketakutan kita akan rasa sakit dan harapan kita untuk hidup selamanya, telah membunuh jutaan binatang dalam proses penelitian dan pembuatan obat-obatan. Bahkan, ini yang paling sickening, perempuan jaman sekarang begitu takutnya dengan proses melahirkan secara alami sehingga banyak dari mereka yang memilih untuk menjalani operasi Caesar saja. Padahal... hal ini SANGAT merugikan bagi bayinya! Dia tidak sempat mengalami masa penantian di mulut vagina sang ibunda. Di mulut vagina inilah dia seharusnya membangun sistem kekebalan tubuhnya melalui bakteri-bakteri dan mikro-organisme lainnya yang ada di situ. Iya, bakteri-bakteri yang menyebabkan vagina berbau “khas”, itulah yang dibutuhkan bayi untuk membangun kekebalan tubuh yang alami! Mana otak yang cemerlang itu? Mana hati yang mulia itu? Semua sudah mati!

Manusia menganggap dirinya paling hebat, paling sempurna. Karena itu manusia tak pernah mau belajar dan berkaca dari alam ini. Alam yang telah memberikannya kehidupan itu sendiri. Coba lihat segala makhluk yang ada di alam ini. Mereka pun berkembang biak, melahirkan, merasakan sakit, dan akhirnya mati. Satu kematian merupakan awal dari kehidupan lainnya. Tidak ada yang pake operasi Caesar segala! Tidak ada yang berusaha hidup selamanya! Kenapa kita menganggap kita beda dari mereka? Mana otak yang cemerlang itu? Mana hati yang mulia itu? Semua sudah mati!

Manusia, terutama di Indonesia, mengaku kalau dirinya percaya pada Tuhan. Sholat 5 waktu dan rajin ke gereja. Bersemedi dan melantunkan irama-irama doa. Tapi setiap hari, mereka menghancurkan, meremehkan, mengabaikan anugerah Tuhan yang telah diletakkan di atas planet ini untuk membela kehidupan. Hutan bakau yang berfungsi menahan ombak dan mencegah erosi, habis dikonversi jadi pemukiman, perkebunan dan daerah industri. Hutan tropis yang mampu menyerap karbon, memproduksi oksigen, mencegah erosi dan banjir, mengatur iklim, habis semua demi pola hidup hedonistik manusia. Terumbu karang tempat semua kehidupan di lautan berawal, habis dibom dan diracuni. Jangan bilang percaya sama Tuhan! Jangan berani-berani! Not in front of me! Belajar dari alam, itu kitab suci yang terbaik! Mana otak yang cemerlang itu? Mana hati yang mulia itu? Semua sudah mati!

Dan kalian semua masih saja berha-ha-hi-hi di friendster, facebook dan milis. Masih juga bikin reuni sekedar mengungkit-ungkit kisah lama. Masih juga kumpul-kumpul gak karuan. Kenapa sih gak bisa menggunakan energi itu untuk MERUBAH PERILAKU??? Biarkan kisah lama jadi kenangan. Jadilah manusia baru yang benar-benar punya otak dan hati. Dan mungkin seiring perubahan itu, kalian akan punya teman-teman baru dan akhirnya terpisah dari yang lama. Ya gak apa-apa! Segitu takutnya dengan perubahan kah kita? Ini perubahan yang penting... bukan untuk membela planet bumi... planet ini akan ada terus tanpa kita... tapi untuk membela kehidupan kita sendiri. DAN... kehidupan kita tidak mungkin bertahan tanpa kelestarian dan keutuhan rantai kehidupan lainnya... di mana kita termasuk di dalamnya!

July 21, 2008

BITCH [by Meredith Brooks]

I hate the world today
You're so good to me
I know but I can't change
Tried to tell you
But you look at me like maybe I'm an angel underneath
Innocent and sweet...

Yesterday I cried
Must have been relieved to see the softer side
I can understand how you'd be so confused
I don't envy you
I'm a little bit of everything, all rolled into one

[Chorus 1]
I'm a bitch, I'm a lover
I'm a child, I'm a mother
I'm a sinner, I'm a saint
I do not feel ashamed
I'm your hell, I'm your dream
I'm nothing in between
You know you wouldn't want it any other way

So take me as I am
This may mean you'll have to be a stronger man
Rest assured that when I start to make you nervous
And I'm going to extremes
Tomorrow I will change
And today won't mean a thing

[Chorus 2]
Just when you think, you got me figured out
The season's already changing
I think it's cool, you do what you do
But don't try to save me

[Chorus 3]
I'm a bitch, I'm a tease
I'm a goddess on my knees
When you hurt, when you suffer
I'm your angel undercover
I've been numb, I'm revived
Can't say I'm not alive
You know I wouldn't want it any other way

July 20, 2008

please don't...

don't...
just don't...
please don't...
not this one...
not this time...
please don't...
just don't
don't...

July 17, 2008

the scary aspects of the unknown

right, so that's it? nothing more? none from my scenarios? no surprises either?
how am i supposed to focus more on the exhilarating aspects of the unknown
if all i get are the scary aspects of it...
it's so painful to have to question what seemed to me very solidly established
no light and warmth after a dark time...
no sign of rejuvenation and growth...
nothing illuminates and no good fortune is on its way...
and the sun is supposed to signify a time of clarity and power
right...
bullshit!
astral climate my ass!
just a bunch of crap!

PROVE IT!

THEN i'll believe!