Aliran hangat membanjiri hati dengan memori. Setiap pohon dan setiap lambaian daun, setiap rekah bunga dan setiap suara satwa, bahkan hembusan angin dan vibrasi bumi saat telapak memijak, semua seolah menyapa rindu, “Dari mana aja? It’s been a long time…”
24 tahun lalu, this used to be my playground. Taman bermain yang selalu sukses melenyapkan resah gelisah, nyaris setiap akhir pekan. Usiaku baru 15 tahun dan Taman Nasional Gede-Pangrango, yang saat itu hanya dikenal sebagai Gunung Gede (2.958 mdpl) dan Gunung Pangrango (3.019 mdpl), jadi tempat menumpahkan energi menyebalkan setelah seminggu bergumul dengan kimia, fisika dan pelajaran lainnya. Kala teman-teman sebaya menghentakkan kaki di lantai dansa atau jalan-jalan sore di Jl. Melawai Raya, aku lebih suka menyatu dengan elemen-elemen alam di kawasan Cibodas ini. Dan menjadi salah satu elemennya.
24 tahun sudah. Mendakinya sekarang tak lagi semudah dulu, tapi kesan yang ditinggalkan setiap kaki melangkah tetap menyatukan dengan alam yang telah mengajarkanku tentang cinta dengan cuma-cuma. Mengajarkan kemuliaan Tuhan tanpa perlu buka buku agama. Merasakan sentuhan kasih abadi-Nya tanpa berpandu Kitab Suci. Inilah hidup yang sesungguhnya.
Pos TNGP - Air Terjun Cibeureum, ± 2,6 Km
24 tahun silam, pos TNGP hanya sebidang bangunan jelek yang dijaga satu orang, kadang dua. Namun kini, gubuk jelek itu ternyata telah dibangun menjadi sebuah pondok kecil yang nyaman, bersebelahan dengan dinding bertegel hitam dan bertulisan “Taman Nasional Gede-Pangrango”. Beberapa langkah dari situ, terdapat sebuah taman kecil dengan beberapa pondok tertata rapi. Inilah pusat informasi bagi para pendaki. Dari sini, pendakian dimulai santai, melalui jalan setapak beralaskan batu-batu sungai yang sengaja dibuat landai. Tak sadar aku tersenyum, teringat cerita lama…
24 tahun yang lalu, aku menangis beberapa ratus meter menjelang puncak. Nyaris menyerah. Dan seorang senior pendaki mengajarkanku untuk meresapi tiap langkah. Mendengarkan suara angin di pepohonan, nyanyian burung, aliran air, gemerisik dedaunan, termasuk mengamati setiap daun kering yang jatuh ke bumi. Menyerap energi dari semua makhluk hidup yang ada di sini. Dari situlah kekuatan datang. Tak perlu jalan cepat-cepat. Jadikan setiap balutan kain di kulit menjadi bagian dari kulit itu sendiri. Jadikan tas ransel di bahu menjadi bagian dari berat badan sendiri. Jadikan jasad ini bagian dari alam. Aku pun mencapai puncak. Keampuhan nasehat itu sudah aku buktikan dalam tiap perjalanan, berat maupun ringan. Nasehat ini aku amalkan dalam setiap pekerjaan sehari-hari, agar tak pernah kepikiran untuk menyerah.
24 tahun memori aku tapaki dalam 1 jam, hingga gemuruh Air Terjun Cibeureum berdentam di hadapan mata. Tumpahan megah dari ketinggian sekitar 50 m menghantam bebatuan, tak henti, tak kenal lelah. Dan lagi-lagi... aku tersenyum sendiri …
Air Terjun Cibeureum - Sungai Air Panas, ± 3,5 Km
24 tahun kenangan terurai. Tanjakan yang harus dilalui mulai menampakkan sudut-sudut terjal, walau masih tetap cukup landai dengan batu-batu besar berserakan di sana sini. Aku teringat kata-kata sahabatku saat itu, “Batu besar nggak boleh disia-siakan.” Maksudnya, saat badan belum ‘panas’, kita jadi cepat lelah. Batu-batu besar itulah tempat istirahat yang paling ideal. Perjalanan pun jadi sering terhenti untuk menenangkan senggal napas di batu-batu. Namun saat nasehat meditasi tadi mulai ‘bekerja’, justru aku jadi malas berhenti. Istirahat terlalu lama malah mengacaukan ritme. Tak terasa, 2 jam kemudian, aku tiba di sungai kecil yang airnya mengalir tenang. Cepat-cepat aku membuka alas kaki, lalu merendam tungkai letih ini dalam airnya. Aaah… hangat merayap, memijat-mijat, lenyapkan lelah. As always, sungai air panas ini is my private spa.
Sungai Air Panas - Kandang Badak, ± 1,3 Km
24 tahun mengendap dalam dada. Berdegup jantung dibuatnya. Perjalanan masih manageable, tak terlalu ringan, tapi juga tak terlalu berat. Namun, aku tahu persis apa yang menghadang. Kandang Badak adalah ‘batas’ perjalanan yang santai ini. Setelah itu, tanjakan-tanjakan terjal dengan sudut 45 hingga 60 derajat harus dilalui sampai ke puncak. Karenanya, di sini aku istirahat agak panjang, membuka bekal makan siang, lalu tidur-tiduran dan menghimpun tenaga.
Kadang Badak - Tangga Uyo - Puncak Gunung Gede, ± 3 Km
24 tahun ternyata lama ya? Walau sering gengsi untuk diakui, biar bagaimana aku tidak lagi berusia 15 tahun… Dan kenyataan ini amat terasa saat aku berusaha memanjat tiap tanjakan, bertumpu pada akar-akar pepohonan untuk mengangkat badan. Perlahan menghadapi tantangan dalam diam, menyimpan keluhan dalam hati saja. Biar cuma Tuhan yang mendengarnya. Kawasan ini dulu punya gelar di antara anggota klab pencinta alamku. “Tangga Uyo”, begitu namanya. Karena Uyo adalah temanku yang tinggi jangkung, dan rasanya hanya dia yang bisa melalui tanjakan gila ini dengan melangkah biasa seperti naik tangga, tanpa harus bergelayutan seperti kera. Di sinilah aku dulu menangis kelelahan. Dan kenangan ini kembali membuat aku tersenyum sendiri, memberi kekuatan ekstra. Aku semangati hati sambil meraih akar pohon berikutnya, tetap berupaya mencapai puncak. Setelah 2 jam lamanya, barulah puncak gunung menyeruak, memamerkan kebesaran Tuhan berupa panorama tiada tara. Puji Tuhan…
Puncak Gunung Gede - Alun-Alun Surya Kencana, ± 1 Km
24 tahun lalu, this used to be my playground. Taman bermain yang selalu sukses melenyapkan resah gelisah, nyaris setiap akhir pekan. Usiaku baru 15 tahun dan Taman Nasional Gede-Pangrango, yang saat itu hanya dikenal sebagai Gunung Gede (2.958 mdpl) dan Gunung Pangrango (3.019 mdpl), jadi tempat menumpahkan energi menyebalkan setelah seminggu bergumul dengan kimia, fisika dan pelajaran lainnya. Kala teman-teman sebaya menghentakkan kaki di lantai dansa atau jalan-jalan sore di Jl. Melawai Raya, aku lebih suka menyatu dengan elemen-elemen alam di kawasan Cibodas ini. Dan menjadi salah satu elemennya.
24 tahun sudah. Mendakinya sekarang tak lagi semudah dulu, tapi kesan yang ditinggalkan setiap kaki melangkah tetap menyatukan dengan alam yang telah mengajarkanku tentang cinta dengan cuma-cuma. Mengajarkan kemuliaan Tuhan tanpa perlu buka buku agama. Merasakan sentuhan kasih abadi-Nya tanpa berpandu Kitab Suci. Inilah hidup yang sesungguhnya.
Pos TNGP - Air Terjun Cibeureum, ± 2,6 Km
24 tahun silam, pos TNGP hanya sebidang bangunan jelek yang dijaga satu orang, kadang dua. Namun kini, gubuk jelek itu ternyata telah dibangun menjadi sebuah pondok kecil yang nyaman, bersebelahan dengan dinding bertegel hitam dan bertulisan “Taman Nasional Gede-Pangrango”. Beberapa langkah dari situ, terdapat sebuah taman kecil dengan beberapa pondok tertata rapi. Inilah pusat informasi bagi para pendaki. Dari sini, pendakian dimulai santai, melalui jalan setapak beralaskan batu-batu sungai yang sengaja dibuat landai. Tak sadar aku tersenyum, teringat cerita lama…
24 tahun yang lalu, aku menangis beberapa ratus meter menjelang puncak. Nyaris menyerah. Dan seorang senior pendaki mengajarkanku untuk meresapi tiap langkah. Mendengarkan suara angin di pepohonan, nyanyian burung, aliran air, gemerisik dedaunan, termasuk mengamati setiap daun kering yang jatuh ke bumi. Menyerap energi dari semua makhluk hidup yang ada di sini. Dari situlah kekuatan datang. Tak perlu jalan cepat-cepat. Jadikan setiap balutan kain di kulit menjadi bagian dari kulit itu sendiri. Jadikan tas ransel di bahu menjadi bagian dari berat badan sendiri. Jadikan jasad ini bagian dari alam. Aku pun mencapai puncak. Keampuhan nasehat itu sudah aku buktikan dalam tiap perjalanan, berat maupun ringan. Nasehat ini aku amalkan dalam setiap pekerjaan sehari-hari, agar tak pernah kepikiran untuk menyerah.
24 tahun memori aku tapaki dalam 1 jam, hingga gemuruh Air Terjun Cibeureum berdentam di hadapan mata. Tumpahan megah dari ketinggian sekitar 50 m menghantam bebatuan, tak henti, tak kenal lelah. Dan lagi-lagi... aku tersenyum sendiri …
Air Terjun Cibeureum - Sungai Air Panas, ± 3,5 Km
24 tahun kenangan terurai. Tanjakan yang harus dilalui mulai menampakkan sudut-sudut terjal, walau masih tetap cukup landai dengan batu-batu besar berserakan di sana sini. Aku teringat kata-kata sahabatku saat itu, “Batu besar nggak boleh disia-siakan.” Maksudnya, saat badan belum ‘panas’, kita jadi cepat lelah. Batu-batu besar itulah tempat istirahat yang paling ideal. Perjalanan pun jadi sering terhenti untuk menenangkan senggal napas di batu-batu. Namun saat nasehat meditasi tadi mulai ‘bekerja’, justru aku jadi malas berhenti. Istirahat terlalu lama malah mengacaukan ritme. Tak terasa, 2 jam kemudian, aku tiba di sungai kecil yang airnya mengalir tenang. Cepat-cepat aku membuka alas kaki, lalu merendam tungkai letih ini dalam airnya. Aaah… hangat merayap, memijat-mijat, lenyapkan lelah. As always, sungai air panas ini is my private spa.
Sungai Air Panas - Kandang Badak, ± 1,3 Km
24 tahun mengendap dalam dada. Berdegup jantung dibuatnya. Perjalanan masih manageable, tak terlalu ringan, tapi juga tak terlalu berat. Namun, aku tahu persis apa yang menghadang. Kandang Badak adalah ‘batas’ perjalanan yang santai ini. Setelah itu, tanjakan-tanjakan terjal dengan sudut 45 hingga 60 derajat harus dilalui sampai ke puncak. Karenanya, di sini aku istirahat agak panjang, membuka bekal makan siang, lalu tidur-tiduran dan menghimpun tenaga.
Kadang Badak - Tangga Uyo - Puncak Gunung Gede, ± 3 Km
24 tahun ternyata lama ya? Walau sering gengsi untuk diakui, biar bagaimana aku tidak lagi berusia 15 tahun… Dan kenyataan ini amat terasa saat aku berusaha memanjat tiap tanjakan, bertumpu pada akar-akar pepohonan untuk mengangkat badan. Perlahan menghadapi tantangan dalam diam, menyimpan keluhan dalam hati saja. Biar cuma Tuhan yang mendengarnya. Kawasan ini dulu punya gelar di antara anggota klab pencinta alamku. “Tangga Uyo”, begitu namanya. Karena Uyo adalah temanku yang tinggi jangkung, dan rasanya hanya dia yang bisa melalui tanjakan gila ini dengan melangkah biasa seperti naik tangga, tanpa harus bergelayutan seperti kera. Di sinilah aku dulu menangis kelelahan. Dan kenangan ini kembali membuat aku tersenyum sendiri, memberi kekuatan ekstra. Aku semangati hati sambil meraih akar pohon berikutnya, tetap berupaya mencapai puncak. Setelah 2 jam lamanya, barulah puncak gunung menyeruak, memamerkan kebesaran Tuhan berupa panorama tiada tara. Puji Tuhan…
Puncak Gunung Gede - Alun-Alun Surya Kencana, ± 1 Km
24 tahun bukan angka belaka. Perjalanan ke Alun-Alun Surya Kencana, dengkul ini mulai protes. Pegal dan kaku, seolah menolak untuk melangkah lebih jauh lagi, padahal jalannya menurun dan bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 30 menit. Namun taburan bunga-bunga edelweiss yang menghiasi keseluruhan lembah yang amat luas ini segera membuatku memarahi dengkul dan memaksanya untuk menurut. Surya Kencana yang cantik adalah tempat aku berkemah malam ini, di antara bunga abadi lambang cinta. Di sini, cinta, doa dan harapan mendadak punya makna yang suci, bukan sekedar keinginan duniawi. Di Surya Kencana, hidup ini jadi punya arti. Aku pejamkan mata. Dan tanpa menengadah, tanpa harus menatap langit, aku tahu, Tuhan hadir di hati.
Thank You, my Lord, my Savior… Yes, i'm the fool who always attempts to accomplish near-impossible goals with almost reckless abandon. Yes, I always want what I can't have. Tapi berbekal keabadian cinta Surya Kencana, aku tetap menanti janji-Mu, kabulkan doaku…
Thank You, my Lord, my Savior… Yes, i'm the fool who always attempts to accomplish near-impossible goals with almost reckless abandon. Yes, I always want what I can't have. Tapi berbekal keabadian cinta Surya Kencana, aku tetap menanti janji-Mu, kabulkan doaku…
lovingly dedicated to that particular little corner of my soul where you have lived and enabled me to always see beautiful sceneries 26.07.08
[aerial photo by: Jez O'Hare]
2 comments:
nice conntent!
thank you :-)
Post a Comment