Usia saya kala itu baru 6 atau 7 tahun, saat mama bertanya, “Kita ke Puncak, mau enggak?” Tentu saja mau! Dan saya pun meloncat-loncat kegirangan.
Untuk apa saya bercerita tentang Puncak di Jawa Barat, padahal judul di atas menyatakan bahwa kisah ini seharusnya tentang Taman Nasional Komodo di Flores sana? Sabar dulu! Penting sekali untuk menceritakan ini. Anda akan mengerti nanti.
Sebuah Warisan yang Hilang
Sebagai anak Jakarta, Puncak bagai taman bermain di akhir pekan yang berhawa dingin, berbentang sawah, berhias cemara dan perkebunan teh. Sepanjang jalan dari rumah saya di bilangan selatan Jakarta, hingga memasuki kawasan Puncak, saya tak berhenti bernyanyi. Mama dan papa pun turut bernyanyi…
Naik, naik ke puncak gunung… tinggi, tinggi sekali…
Naik, naik ke puncak gunung… tinggi, tinggi sekali…
Kiri, kanan, kulihat saja, banyak pohon cemara…
Kiri, kanan, kulihat saja, banyak pohon cemara…
Sekelumit kebahagiaan masa kecil di tahun 70-an yang tidak mungkin terlupakan! Indah dan sejuknya Puncak yang selalu saya rindukan. Liburan singkat yang selalu saya nantikan. Pepohonan rindang dan sawah membentang. Cemara menari dan hijaunya perkebunan yang menenteramkan. Semua kini hanya tinggal kenangan…
Belasan tahun kemudian, saya menikah. Sangat muda untuk ukuran anak Jakarta. Di usia 20 tahun, saya sudah memiliki seorang putri. Empat tahun kemudian, putri kedua pun hadir di tengah-tengah keluarga. Namun, dalam perbedaan usia yang sangat dekat itu, hanya 20 tahun dan 24 tahun saja, saya tak lagi bisa mewariskan keindahan Puncak yang telah memperkaya masa kecil saya kepada mereka.
Hanya dalam 20 tahun saja, Puncak tak lagi berhias rimbun cemara, melainkan warung, restoran, toko dan sejumlah penginapan yang ditata seenaknya. Puncak tak lagi berbentang sawah dan berhawa sejuk, melainkan panas, berdebu, padat dan selalu macet! Satu-satunya yang masih tersisa adalah hamparan perkebunan teh di Puncak Pass. Itupun kecantikannya kian memudar, atas nama pembangunan, atas nama kebutuhan rakyat, atas nama entah apa lagi… Anak-anak saya mentah-mentah menolak diajak ke sana. Untuk apa? Tidak ada yang dilihat… Tidak ada yang dinikmati… Ah, sebuah warisan alam, hilang sudah…
Kisah di atas sungguh-sungguh pengalaman pribadi yang membekas dalam di sanubari. Sebuah rasa bahagia yang berganti sedih, prihatin dan seringkali marah dan frustasi. Hanya dalam 20 tahun saja! Mengapa manusia begitu mudah mengabaikan, melukai dan merusak alam yang telah memberikan kehidupan dan kebahagiaan? Atas nama pembangunan, atas nama kebutuhan rakyat, atas nama entah apa lagi…
Mengertikah Anda kini? Kisah ini saya ceritakan agar hal serupa TIDAK terulang lagi di salah satu kawasan Warisan Dunia yang spektakuler, Taman Nasional Komodo.
Selamat Datang di Kerajaan Sang Naga!
Terletak di ujung barat Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Taman Nasional Komodo (TNK) megah berdiri sejak 1980 untuk melestarikan binatang unik Komodo (Varanus komodoensis). Namun yang kerap luput digaris-bawahi, TNK lebih dari sekedar habitat bagi kadal purba yang legendaris ini, melainkan juga rumah bagi begitu banyak keanekaragaman hayati, baik di darat maupun di laut.
Dengan luas sekitar 1.817 km2, area Taman Nasional ini bertaburan pulau-pulau gersang yang seringkali memamerkan warna merah menyala disinari mentari Flores yang terik benderang. Bentangan savana dan hutan kering, hutan awan dan bebatuan, berbaur dalam lansekap indah tiada tara, unik tiada bandingannya. Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Papagaran, Pulau Padar, Pulau Gililawa Laut dan Pulau Gililawa Darat, hanya sebagian dari puluhan gugusan pulau besar dan kecil yang teronggok cantik di bening biru Laut Flores.
Warisan Dunia, Warisan Anak-Cucu Kita
Di sini, rusa-rusa Timor berkelompok di tengah savana, merumput dan berlarian riang. Di sini, sekawanan babi hutan sesekali melintas sambil mengais-ngais tanah merah kering dengan kaki-kaki pendeknya. Di sini, kerbau air berkubang nyaman, kuda liar berderap cepat dan monyet-monyet bermain di pepohonan. Di sini, sejumlah reptil melata, berdesis dan mencari mangsa. Dan beragam jenis burung mengepakkan sayap-sayapnya, gagah namun gemulai di angkasa raya. Inipun belum seberapa!
Area bahari di TNK membentuk kerajaannya sendiri. Bagai istana bawah laut yang amat megah, berlantai taman terumbu karang aneka warna, pasir lembut kemerahan, dinding-dinding curam yang kerap juga berlapis beragam karang, “kerajaan” ini dihuni satwa laut bermacam jenis dan rupa. Bersama hutan-hutan bakau dan padang-padang lamun, gugusan terumbu karang di TNK bersatu padu, bekerja sama tanpa diminta, membentuk jajaran ekosistem terpenting bagi kelangsungan kehidupan bahari di Indonesia.
Inilah habitat-habitat yang menjadi home sweet home bagi lebih dari 1.000 spesies ikan, 385 spesies pembangun terumbu karang, 70 spesies sepon, serta 19 spesies paus dan lumba-lumba. TNK dengan perairannya yang berarus kencang, juga merupakan ”ladang” plankton bagi binatang laut yang teramat eksotis, sang Pari Manta (Manta birostris). Jika Komodo menjadi ikon TNK di darat, maka Pari Manta adalah ikon di kawasan baharinya.
Tidak mengherankan jika kini tujuan-tujuan pelestarian telah berkembang untuk juga melindungi keanekaragaman hayati di kawasan ini secara keseluruhan, baik di perairan maupun di daratan. Taman Nasional inipun dideklarasikan sebagai Cagar Manusia dan Biosfir serta Situs Warisan Dunia pada tahun 1986. Ini warisan kita bersama, bagi anak cucu kita kelak! Mari menjaganya, jangan tercemar, jangan dirusak, jangan dimusnahkan dan jangan sekali-kali dilupakan begitu saja. Mari ikut saya menapaki keindahannya dan larut dalam perjalanan yang tak hanya menyegarkan mata, namun sangat membelai hati! Sebuah perjalanan spiritual yang begitu memperkaya jiwa. Selamat datang di Taman Nasional Komodo!
Mentari Pagi di Bukit Sulphurea
Loh Liang, Pulau Komodo, Taman Nasional Komodo. Pagi baru saja beringsut malas, sama seperti saya yang masih ingin bermalasan di buaian hammock kuning kesayangan saya. Namun saya segera teringat, jam 6 pagi, naga-naga prahistoris yang bisa mencapai panjang 3 meter itu sudah mulai aktif lagi, mencari sarapan setelah tidur lelap sepanjang malam di lubang-lubang persembunyiannya. Meski saya tak rela jika binatang berwajah naga dengan lidah menjulur-julur bak ular itu punah, saya pun tak rela jadi santapannya.
Maka pagi inipun saya putuskan untuk mendaki santai, mencari kedamaian di puncak Bukit Sulphurea, sebuah teritori kawanan burung kakatua berjambul kuning yang disebut Cacatua sulphurea. Ditemani seorang jagawana dan “tongkat sakti”-nya yang bercabang dua untuk menghalau Komodo, saya memasuki Hutan Asam. Seperti namanya, hutan ini dipenuhi pohon asam (Tamarindus indica), rimbun menaungi diri dari sinar mentari yang kian tinggi. Pohon-pohon gebang (Calophyllum spectabile) yang tinggi menjulang turut menghiasi hutan ini, di mana beberapa burung pergam hijau (Ducula aenea) bertengger menyambut pagi. Anggrek-anggrek hutan pun menyembul anggun di sana sini. Damai, damai, damai.
Setelah berjalan setengah jam menembus hutan, saya tiba di daerah terbuka, berumput semacam ilalang panjang, membentang sejauh mata memandang. Savana menghijau di musim hujan maupun kering kecoklatan kala kemarau selalu menyajikan panorama luar biasa. Jalan setapak mulai menanjak. Namun napas anak kota yang terengah lelah ini terbayar lunas saat kaki menginjak puncak Bukit Sulphurea. Saya pun duduk beristirahat di salah satu batu besar dan pemandangan itu menyeruak begitu saja. Mata ini mau tak mau lurus menatap hamparan biru cerah Laut Flores pagi itu. Dermaga panjang Loh Liang tempat perahu-perahu menurunkan penumpang terlihat jelas bermandi mentari. Sementara kalau kepala ini menoleh sedikit saja, ke kanan atau ke kiri tidak masalah, maka lembah-lembah dan savana luas bagai karpet di atas gundukan-gundukan raksasa adalah panorama yang tersaji indah. Kakatua sulphurea yang dinanti-nanti pun mulai berdatangan. “Kaak,” dia hinggap. “Kaak… Kaak,” dia bertengger sejenak. “Kaak, Kaak,” dia pun terbang. Ah, lucunya!
Bapak jagawana yang mendampingi saya tiba-tiba mengajak saya untuk turun sedikit ke sudut bukit. Ternyata, di tengah savana seekor Komodo sedang berjemur memanaskan darah dinginnya. Wajahnya bodoh sekali. Tubuh besarnya rata dengan rerumputan dan kaki-kakinya yang memiliki cakar panjang mengerikan teruntai santai di sisi-sisinya. Tapi jangan sekali-kali terkecoh! Meski tampak lamban dan ceroboh, malas dan bodoh, naga Komodo ini bisa mendadak berdiri di atas tungkai kakinya yang kuat seperti batang kayu berkualitas tinggi dan lari mengejar mangsa hingga kecepatan 18 km per jam! Mereka pun perenang ulung. Selain itu, naga-naga yang masih muda bisa pula memanjat pohon.
Waspadalah selalu, karena mereka adalah opportunistic feeder, yaitu tipe pemangsa yang mencari kesempatan. Tak seperti predator lainnya yang giat berburu, mereka cuma menunggu. Begitu mangsanya lengah, kesempatan pun terbuka, dan mereka menyerang tanpa disangka-sangka. Karena itu, selalu gunakan pemandu atau jagawana yang berpengalaman, ke manapun Anda bertualang di kawasan sang naga ini. Selain itu, ikuti semua peraturan Taman Nasional, demi keselamatan Anda!
Surga Para Penyelam!
Bagi para penyelam, keanekaragaman kehidupan di laut menjadikan Komodo salah satu destinasi selam terbaik di dunia. Diperkirakan terdapat 17 kilometer persegi terumbu karang di TNK, berdasarkan perluasan daerah rataan terumbu dan daerah dangkal yang mempunyai kedalaman kurang dari 20 meter. Selain itu, TNK terkenal sebagai salah satu tempat yang memiliki arus tercepat di dunia, yang kadang menyerupai sungai yang sedang mengamuk. Penyebab gerakan air yang cepat adalah karena Komodo dan Rinca membentuk lintasan leher botol antara dua badan air yang besar dan dalam, yaitu Samudera Pasifik di utara dan Samudera Hindia di selatan.
Selama perubahan pasang surut, sejumlah besar air harus berpindah dari selatan ke utara saat pasang naik, atau utara ke selatan saat pasang turun. Karena lintasan air utara-selatan yang ada di Kepulauan Sunda Kecil jumlahnya terbatas untuk pertukaran ini, volume air yang sangat besar terpaksa melewati lintasan sempit di TNK dengan kecepatan tinggi. Namun hal ini justru menjadi tantangan yang menggiurkan dan sulit dilewatkan oleh para penyelam. Keahlian menyelam yang memadai (minimal sertifikasi Advance Diver) dibutuhkan untuk menyelam di sini. Selain itu, seperti juga di daratan, pastikan Anda selalu ditemani oleh pemandu, dalam hal ini seorang dive master, yang berpengalaman. Para penyedia jasa selam (dive operators) banyak terdapat di Labuan Bajo dan bisa membantu Anda merencanakan perjalanan selam yang aman dan nyaman.
Pantai Merah, Gililawa dan Karang Makassar
Lokasi selam (dive site) di TNK ada puluhan, bahkan mungkin ratusan kalau menghitung lokasi-lokasi yang memiliki tingkat kesulitan sangat tinggi. Namun 3 yang paling populer adalah Pantai Merah, Gililawa dan Karang Makassar. Pantai Merah yang terletak di Pulau Komodo adalah teluk kecil dengan pantai berpasir kemerahan akibat perpaduan pasir dengan serpihan karang berwarna merah darah yang bernama latin Tubiphora musica. Tak hanya untuk menyelam, pantai ini juga kerap disandangi wisatawan, terutama wisatawan asing, untuk ber-snorkeling ria maupun sekedar berjemur di pasir lembutnya. Cukup dengan snorkeling pun, taman terumbu karang yang indah dengan aneka ragam satwa laut menawan sudah bisa dinikmati. Namun, bagi seorang penyelam, tidak pernah ada kata cukup sebelum membenamkan diri di kedalaman 20-an meter dan menyaksikan keindahan bawah laut yang menakjubkan.
Maka saya pun bersiap memakai perlengkapan selam dan dalam sekejap terjun ke air jernih perairan Pantai Merah. Arus agak kuat di titik entry, jadi saya harus berenang melawan arus untuk mencapai daerah coral wall yang lebih tenang. Namun setibanya di dinding terumbu karang yang menjulang itu, rasa lelah lenyap segera. Mata dimanjakan dengan panorama mempesona. 2 ekor penyu menyusup diam-diam di antara karang, segerombolan bumped-head parrot fish berukuran amat besar melintas cuek, tak peduli kehadiran saya dan teman-teman penyelam lainnya, blue-spotted stingray mendadak muncul dari balik karang dan menyelam menuju kedalaman, kawanan emperor angelfish anggun memamerkan kecantikannya, seekor puffer fish bersembunyi di bawah naungan karang, coral trout, moorish idols, anthias dan masih banyak lagi!!! Tempat ini meriah dengan begitu banyak ragam kehidupan, indah bagai dalam lukisan, megah, angkuh dan spektakuler. Tak mungkin menceritakan setiap sudutnya. Anda harus datang sendiri!
Sedangkan lokasi selam yang sering “disingkat” dengan nama “Gililawa” sesungguhnya adalah dua pulau kecil di utara Pulau Komodo, yakni Pulau Gililawa Darat dan Pulau Gililawa Laut. Di perairannya, beberapa lokasi selam andalan bersembunyi di bawah riak beningnya. Sebut saja Crystal Rock, Castle Rock dan Golden Gate, yang merupakan surga bawah laut bagi Anda yang menyukai penyelaman laut dalam (deep dive), aktivitas drift dive atau menyelam dengan mengikuti arus dan night dive, yaitu penyelaman malam hari. Ikan-ikan besar banyak bercokol di sini, termasuk beberapa jenis hiu, seperti white-tip dan reef sharks, serta beragam ikan kerapu (grouper) yang juga berukuran besar. Di sini pula (saat drift dive di Golden Gate), saya berjumpa beberapa Napoleon Wrasse yang dilindungi dan giant sweetlips yang punya bibir lucu dan “seksi”. Senang sekali!
Karang Makassar merupakan dive site yang populer karena keberadaan pari manta yang legendaris sekaligus iconic itu. Penyelaman harus dilakukan saat arus sedang lumayan kuat, supaya kita bisa drifting mengikuti arus dan juga memiliki kesempatan yang lebih tinggi untuk menemukan manta. Perairan Karang Makassar yang kaya plankton ini amat disukai oleh pari manta yang senang berenang melawan arus sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan menyaring plankton-plankton makanannya ini. Karena arus kencang itu pula, dasar Karang Makassar lebih banyak ditumbuhi karang lunak ketimbang karang keras, dan seringkali visibility atau tingkat penglihatan jadi kurang baik karena air yang keruh dipenuhi plankton. Meski begitu, penyelaman di sini sulit diabaikan karena hewan eksotis bernama keren “manta ray” ini sungguh menakjubkan. Lebar sayap luar biasa besar dan bisa mencapai 4 meter, namun hewan ini sangat harmless. Pari manta tidak memiliki “senjata” untuk membela diri seperti kebanyakan jenis pari lainnya yang punya “sting” di buntutnya. Karena keunikan inilah, karakter pari manta seringkali digambarkan sebagai hewan laut yang cantik, gemulai dan baik hati. Nah, dengan gambaran seperti itu, tentu saja para penyelam selalu berusaha mencarinya!
Saya pun tak ketinggalan. Saya pun menyelam. Bintang keberuntungan sedang berada di pihak saya rupanya! Baru saja turun, mungkin baru sekitar 8 - 9 meter, seekor manta sudah menyambut, menari dengan sayapnya, tak jauh di bawah saya. Dan dalam sekitar 30 menit, dengan kedalaman rata-rata 15 meter, hari itu saya menemui sekitar 25 ekor manta. Ada yang jauh dan cuma samar terlihat berenang pelan, ada pula yang sangat dekat. Bahkan, sebagai “bonus”, saya juga melihat manta yang dijuluki “the zorro”. Manta ini keseluruhan tubuhnya berwarna hitam kelam, sedangkan manta lainnya biasanya hanya hitam di bagian atas badannya dan bagian bawahnya putih. Sungguh, sungguh beruntung! Sebuah akhir yang menyenangkan dari perjalanan selam saya kali itu.
Mari Warisi Warisan Dunia Ini!
Petualangan kali ini tak bisa mewakili keindahan dan keunikan TNK seluruhnya. Taman Nasional ini sangat luas dan menawarkan berbagai “atraksi”. Selain di Pulau Komodo, naga-naga purba Komodo juga bisa Anda temui di Pulau Rinca. Datang saja ke Loh Buaya dan pilihlah salah satu kegiatan trekking sesuai minat dan kemampuan. Anda bisa juga mengunjungi kampung-kampung nelayan tradisional yang berada dalam kawasan TNK, seperti Kampung Komodo, Kampung Papagaran, Kampung Rinca dan Kampung Kerora. Atau ingin bersantai saja di salah satu pantai cantik yang juga berpasir kemerahan di Pulau Padar yang sunyi tak berpenghuni? Lalu singgahlah di Pulau Kalong menjelang senja dan nikmati sunset menawan, sekaligus saksikan ribuan kalong buah (flying foxes / fruit bats) terbang menembus langit malam untuk mencari makan.
Last but not least, ingatlah selalu, TNK adalah salah satu dari keanekaragaman hayati terbesar di Bumi! Jangan sampai nasibnya sama dengan kawasan Puncak di Jawa Barat dan juga begitu banyak kawasan lain di Pertiwi tercinta ini yang rusak, tercemar, hancur, salah kelola dan kemudian dilupakan begitu saja. Ini Warisan Dunia untuk kita. Mari warisi Taman Nasional Komodo, sekarang dan di masa depan. 20 tahun mendatang, 40 tahun mendatang, 100 tahun mendatang dan selama-lamanya!
No comments:
Post a Comment