Dan geram.
Gempa berkekuatan 7.6 SR mengguncang pesisir barat Sumatera, memorakporandakan kawasan pantai Pariaman, Kota Padang, dan sekitarnya. Satu lagi amukan Ibu Bumi yang makin tua, makin rentan, makin sakit dan makin sering marah-marah. Setelah mengirim taifun ke Filipina, Laos dan Vietnam, serta menghempas gelombang garang tsunami di kepulauan apik Samoa, agaknya kini giliran Indonesia.
Herannya, di tengah tragedi sebesar itu, di tengah keprihatinan atas kondisi planet yang telah menjadi rumah kita ini, banyak orang masih bisa berolok-olok.
Iya. Betul. Bercanda dan tertawa.
Atau lebih tepatnya, mentertawakan.
Seorang teman yang berprofesi sebagai penyiar bercerita, begitu banyak SMS dengan nada canda yang masuk ke stasiun radio tempat dia bekerja. Para pendengarnya agaknya merasa bahwa tragedi ini memang “sudah waktunya terjadi, karena dunia makin sempit.” Pernyataan via SMS ini ditambah pula lagak tawa layaknya anak-anak muda, yaitu WKWKWKWKWK…
Ada juga yang mengirim pesan begini, “Daripada pusing mikirin mereka, mending saya request lagu aja ya, mbak…”
Heran.
Dan geram.
Dan kini bertanya-tanya, ada berapa banyak dari kamu semua yang berpikiran begini? Ada berapa banyak dari kamu semua yang sudah tak lagi memiliki otak dan hati nurani?
Dunia memang makin sempit. Dan ini semua memang ulah kita. Saya ulang, ulah KITA. Bukan dia, bukan kamu, bukan saya, melainkan KITA. Ini kesalahan kita bersama-sama. Keserakahan kita, ketidakpedulian kita, ketidakmautahuan kita terhadap kelestarian bumi, telah membuat planet tempat kita berpijak dan bernaung ini kian bingung mencari titik keseimbangannya. Ibu Bumi sedang demam. Ibu Bumi lagi panas tinggi. Beliau tengah berupaya mengembalikan kecantikan dan keagungannya. Untuk itu, beberapa hal harus dia korbankan. Dan itu semua, adalah akibat perbuatan KITA. Apa yang kita tabur, kini harus kita tuai. Kita telah menabur angin, maka memang… sudah sepantasnyalah kita menuai badai.
Tapi… pernyataan bahwa “dunia makin sempit” dan “sudah waktunya” bukanlah bahan olok-olok dan ejekan, melainkan bahan introspeksi. Kita yang kini masih diijinkan untuk tetap bertahan di planet paling bergengsi sejagad raya ini seharusnya makin mawas diri dan mulai sungguh-sungguh melihat ke dalam, melakukan perubahan. Mereka yang mati tidak dipanggil pulang ke rumah Tuhan karena mereka dianggap sampah yang telah membuat dunia makin sempit. Justru sebaliknya, mereka yang mati adalah mereka yang diselamatkan-Nya, dibebaskan dari tanggung-jawab dan segala permasalahan dunia. Kematian adalah solusi terbaik bagi masalah apapun yang kita hadapi. Berbahagialah mereka yang telah kembali ke pangkuan-Nya.
Kita dibiarkan “hidup” bukan karena kita dianggap tidak bersalah. Justru kita inilah yang kini makin diberi beban di bahu. Beban untuk melanjutkan hidup disertai tanggung-jawab yang kian besar untuk memperbaiki kondisi bumi yang penuh ketidakpastian ini. Dan beberapa dari kita harus melakukan semua itu sambil menahan pilu dan pedih atas kehilangan yang amat sangat. Kalau saya sih, lebih berharap langsung mati di tempat jika tragedi menimpa. Sebuah harapan egois untuk terlepas dari beban itu. Tapi nyatanya… KITA… masih di sini. KITA… masih harus melanjutkan misi.
Berhenti bercanda dan lihat diri sendiri.
Otak dan hati diberikan kepada kita bukan sekedar untuk membedakan kita dari makhluk lainnya, melainkan untuk dipakai dengan selaras. Binatang pun punya otak dan hati. Tapi mereka tidak diberikan kemampuan untuk menyelaraskan pikiran dengan perasaan, lalu mengaplikasikannya demi kepentingan seluruh umat. Sebagai gantinya, mereka diberikan taring dan kuku yang tajam, atau bisa yang mematikan, atau kecepatan berlari yang luar biasa, atau sayap yang mampu menari mengikuti angin, dan sebagainya. Sementara kita tidak. Sebagai makhluk paling lemah di planet ini, kita justru diberikan kehebatan dalam menggunakan serta mengelola otak dan hati kita. Karena itulah kita disebut sebagai “yang paling sempurna”, lalu ditempatkan dalam rengkuh Ibu Bumi, sebagai penjaganya. Bukan perusaknya. Tolong gunakan kesempurnaan itu sebaik-baiknya.
Ingat juga, patahan lempeng yang menyebabkan gempa di pesisir barat Sumatera kemarin, masih terus bergerak ke segala penjuru. Jambi, hari ini, turut diguncang gempa. Besok? Mungkin Anak Krakatau terbangun dari tidurnya. Lusa? Mungkin Tangkuban Perahu terbatuk-batuk. Hari berikutnya? Mungkin Jogja akan kembali bergetar hebat, dilengkapi siraman lahar dan asap beracun dari dataran asri Dieng. Kita tidak pernah tahu. Hari esok, mungkin giliran kamu, saya atau dia. Tolong jangan bercanda.
Jadi… Otak, kalau tidak dipakai, sebaiknya dibuang saja ke laut. Hati, kalau tidak dipakai, sebaiknya dicincang untuk makanan anjing.
* dedicated to:
1. Unee Adisti – my deepest condolences for your fucked-up listeners.
2. Vriana Indriasari – hope your family in Pariaman is safe and will contact you soon.
3. Minangkabau – my mother land, my blood, my family.
4. The Human Race – GROW UP, WILL YA???
No comments:
Post a Comment