June 02, 2008

MANUSIA

[Pemerintah akhirnya menaikkan harga tiga jenis bahan bakar minyak bersubsidi (premium, solar, dan minyak tanah) masing-masing sebesar 33,3 persen, 27,9 persen, dan 25,0 persen per tanggal 24 Mei 2008. – kutipan dari Kompas Online]

Tulisan ini kugoreskan pada hari ketiga sejak harga BBM naik. Siang, 26 Mei 2008. Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Aku dan teman-teman kantor duduk bersama di area makan outdoor di halaman belakang kantor kami yang asri dipenuhi pepohonan. Sebuah kolam renang besar terhampar di sudutnya, sangat menyejukkan mata. Aku pun mulai menyantap seporsi empek-empek Palembang yang kubeli di pojok Jalan Pejaten Barat. Rasanya biasa saja, tapi lumayan segar di tengah panas siang hari ini.

Obrolan siang ini dimulai dengan sepotong komentar kaget dari seorang temanku yang duduk persis di seberang aku, “Lho? Kok dikit banget sih gado-gadonya?” Kenaikan BBM telah membawa dampak nyata. Dengan harga yang tetap sama, porsi gado-gado tambah sedikit, setengah dari biasanya. Sebuah kiat para penjual dalam menghadapi berbagai kenaikan harga akibat melonjaknya BBM.

Beberapa teman yang lain pun mulai menanggapi dengan cerita-cerita senada. Dari seikat sayur di pasar yang harganya belum naik, tapi ikatannya jadi tipis, tidak setebal biasanya. Hingga kenek-kenek angkutan umum yang hanya berani menagih ongkos baru yang lebih mahal pada para penumpang wanita saja, karena semua penumpang pria sudah memasang muka "siap tempur" sebelum ditagih.

Para pedagang dan pengusaha kecil memang dituntut makin kreatif menghadapi hidup yang kian berat. Namun haruskah kita mengorbankan etika, cinta kasih dan akal sehat, demi mencari nafkah? Inikah manusia?

Pertanyaan ini tak ayal terlontar dari benakku saat cerita-cerita di meja makan kami berlanjut. Dari sekedar keluhan, pembicaraan menghangat ke kisah-kisah “horor”. Aku bilang horor karena sudah sepantasnya cerita-cerita seperti ini hanya ada di film horor, bukan di kehidupan yang sebenarnya. Silahkan simak cerita-cerita beberapa rekan kerjaku.

Beberapa pedagang makanan ternyata lebih dari sekedar kreatif. Setelah hangatnya isu makanan berformalin, para pedagang tidak kehabisan akal. Tukang gorengan misalnya, kini banyak dari mereka yang turut "menggoreng" kantong plastik bekas tempat minyak gorengnya. Jadilah minyak goreng tersebut bercampur dengan plastik yang telah meleleh. Barulah setelah itu, adonan gorengan dimasukkan. Hasilnya adalah beragam gorengan lezat yang tetap crispy meski telah teronggok seharian. Itulah yang kita makan. Ramuan gorengan renyah dan garing yang bercampur plastik.

Ada juga penjual ayam potong yang sudah diberi bumbu kuning. Ibuku biasanya senang membeli ayam seperti ini, karena tinggal digoreng setibanya di rumah. Rasanya pun enak. Ternyata para penjualnya kini sering mencampur potongan ayam yang telah bau dan basi, dengan potongan ayam baru. Bumbu-bumbu fresh dari potongan ayam yang baru dapat menyamarkan bau daging ayam lainnya yang telah basi. Apakah ayam goreng bumbu kuning yang kita nikmati di rumah basi atau baru? Hanya Tuhan yang tahu.

Soal formalin, masih banyak penjual yang menggunakannya meski tahu resikonya jika ketahuan. Itu sebabnya, jika belanja di pasar tradisional, seringkali kita bisa melihat tumpukan ikan asin yang tidak dikerubungi lalat. Ikan asin seperti ini jelas sudah dilapisi formalin. Lalat saja tidak sudi menyentuhnya, bagaimana dengan manusia seperti kita?

Contohnya banyak lagi. Pembicaran di siang yang panas ini tambah panas. Aku memilih untuk menyingkir, sebelum kepalaku meledak karena emosi dan hatiku tambah terluka karena kecewa. Sangat sulit untuk percaya pada sesama manusia belakangan ini. Sepertinya, mereka jahat semua. Jahat sekali. Tak punya hati. Bahkan untuk sekedar mengisi perut pun, kini kita harus berpikir berkali-kali. Amankah yang kita masukkan ke mulut hari ini? Betapa teganya! Betapa jahatnya! Inikah manusia?

Meski kenaikan BBM juga membawa dampak bagiku, namun aku sadar, bahwa aku tetap jauh lebih beruntung dari kebanyakan orang. Karena itu, aku tak keberatan membayar lebih untuk sepiring jajanan. Kalaupun porsinya kurang, aku bahkan tak keberatan membeli dua porsi sekaligus. Namun aku sangat keberatan jika makanan yang aku santap ternyata bisa membahayakan kesehatan, membawa berbagai penyakit dan bahkan kematian.

Manusia. Makhluk yang paling sempurna. BOHONG! Di manakah kesempurnaan itu? Wajah-wajah yang kulihat sepanjang hari ini mendadak jadi menyeramkan. Berusaha kutebak mana yang manusia, mana yang bukan. Sepertinya tidak ada. Hampir semua, hampir semua, hanyalah jasad tanpa jiwa. Apapun dilakukannya untuk bertahan hidup, termasuk membunuh makhluk-makhluk lainnya. Padahal hidup itu sendiri sudah tak ada lagi. Manusia… sudah mati…

No comments: