Maafkan saya jika saya satu-satunya yang tidak mengucapkan “Happy Independence Day” hari ini ataupun berteriak lantang, “MERDEKA!!!” maupun ikut-ikutan memakai lambang merah-putih sebagai tanda solidaritas dan keikutsertaan saya dalam gerakan trendy “Indonesia Unite” yang belakangan ini begitu marak dan penuh bangga diserukan. Pasalnya, saya tidak merasakan adanya kemerdekaan di negeri yang begitu cantik ini. Dan saya tidak mengerti definisi kemerdekaan macam apa yang dianut oleh kalian semua.
Yang jelas, definisi berikut ini sama sekali tidak masuk akal sehat saya, yakni bahwa kita telah “merdeka” dari para penjajah selama 65 tahun. Karena begitu definisi itu diberikan kepada saya, muncul pertanyaan berikutnya: siapa para penjajah itu? Dan kalian pun akan menjawab, “Belanda dan Jepang”. Lagi-lagi jawaban itu akan memicu pertanyaan lain: tapi bukankah justru sekarang makin banyak sumber daya alam kita yang sebagian besar dikuasai bangsa asing – Amerika yang telah mengerek timah, emas dan beragam logam mulia kita, Jepang dengan usaha raksasa budidaya mutiaranya di pesisir Maluku Selatan yang kemudian mereka akui sebagai milik mereka dan mereka pajang di Mikimoto Pearl Island, Cina yang telah menjadi surga penyelundupan kayu dan satwa langka kita, belum lagi Australia, Jerman, Perancis, Belanda, Inggris dan berbagai bangsa lain yang datang dalam berbagai bentuk dan upaya, untuk kembali menguasai setiap sudut dari negeri ini? “Oh, itu lain,” dalih kalian. “Itu merupakan bentuk-bentuk perdagangan global – global trade – bukan penjajahan.” Begitukah?
Jangan salah, saya bukan orang yang anti-Eropa atau anti-Jepang atau anti-Cina atau anti-apapun juga. Laptop yang saya pakai untuk mengetik artikel inipun adalah buatan negara Paman Obama, bermerek Dell. Lemari es, AC, water dispenser, kompor, microwave dan bahkan mobil saya adalah buatan Negeri Sakura. Begitu pula kamera kesayangan saya, Canon D10 yang anti-air, anti-beku dan anti-guncangan, adalah produk Jepang. Benda-benda lain buatan Italia, Cina, Jerman, Inggris dan Perancis juga ada di rumah saya. Belum lagi kosmetik dan beragam aksesori serta pernak-pernik fesyen yang saya miliki. Hampir semuanya buatan asing.
Tapi itulah. Sebagian besar benda-benda itu saya beli karena kualitasnya yang sangat baik dan pelayanan pasca penjualannya (after-sales service) yang memuaskan. Intinya, kita sama sekali tidak tahu (atau tidak mau tahu) bagaimana caranya mengelola negara kita yang kaya raya ini, mengambil hasilnya dengan berkelanjutan tanpa menghadapkan generasi mendatang pada masalah-masalah lingkungan, memproduksi barang-barang berkualitas tinggi, dan melayani konsumen – baik sebelum maupun sesudah membeli barang – secara profesional dan memuaskan.
Jadi ternyata kita BELUM MERDEKA DARI KEBODOHAN.
Kita lebih suka menjual materi mentah berupa kayu ke luar negeri, yang kemudian disulap dengan begitu cantiknya oleh para produsen mebel di sana, diberi merek dan diekspor kembali ke negara kita untuk kita beli lagi dalam harga yang begitu tinggi. Kita lebih suka mengirim materi mentah berupa kayu manis ke luar negeri, yang kemudian diracik menjadi makanan lezat seperti cinnamon roll yang diakui orang Eropa sebagai “penganan khas” mereka. Padahal, tanpa kayu manis dari Indonesia, namanya mungkin hanya “roll” saja. Kita lebih suka mengekspor materi mentah berupa daun teh ke luar negeri, yang kemudian menjadi favorit Ratu Inggris. Favoritisme ini dijadikan nilai jual yang luar biasa dan tentunya, kita di Indonesia pun berebut membelinya demi gengsi, tanpa sadar bahwa daun teh tersebut sesungguhnya berasal dari kawasan perkebunan asri di selatan Bandung sana. Terlalu banyak contoh-contoh lainnya yang tak mungkin saya sebutkan satu per satu. Sumber daya alam kita hanya sekedar “numpang tumbuh” dan “numpang terbenam” di jajaran kepulauan ini, untuk nantinya dikuras habis demi memperkaya negara lain.
Rakyat kita – selain segelintir orang-orang kaya di kota besar – dapat apa? Tidak dapat apa-apa. Sebagian besar hanya bekerja sebagai buruh. Miskin, bodoh dan berpikiran sempit, mereka dengan mudah dipengaruhi dan diiming-imingi untuk menjual tanahnya, hutannya, ladangnya, sawahnya dan kebunnya. Mau bagaimana lagi? Percuma juga mengajarkan benefit jangka panjang akan kelestarian alam, jika perut mereka lapar, anak mereka harus sekolah, saudara mereka sakit keras dan malam-malam mereka gelap gulita tanpa listrik dan tanpa kemungkinan menembus batas antara si miskin dan si kaya. Benefit jangka panjang versus profit saat ini juga. Jelas profit yang menang. Dan itulah yang dipergunakan perusahaan-perusahaan besar untuk merampas kekayaan yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh bangsa. Dan yang lebih menyedihkan lagi, kini perusahaan-perusahaan itu tidak lagi semuanya milik bangsa asing. Perusahaan Indonesia pun sekarang melakukan pola “penjajahan” yang sama.
Ya, penjajahan itu kini dilakukan tak cuma oleh bangsa-bangsa asing yang sampai sekarang masih bercokol dan makin banyak di sini, melainkan juga oleh BANGSA KITA SENDIRI! Hanya saja bentuknya lain. Tidak lagi dengan todongan senjata dan kekerasan fisik, melainkan dengan intelektualitas tinggi. Intelektualitas yang seharusnya kita gunakan untuk menyejahterakan sesama, justru kita pakai untuk memperkaya diri sendiri.
Jadi ternyata, kita BELUM MERDEKA DARI PENJAJAHAN.
Selain itu, mari kita tengok angka pengangguran di negara ini, atau jumlah siswa-siswi di bangku sekolah, atau jumlah sarana dan tenaga medis, atau ketersediaan air bersih, listrik dan bahan makanan pokok di seluruh penjuru negeri. Pilih salah satu. Angka-angka itu tidak berteriak, “MERDEKA!” Sebaliknya, keluh lirih dan air mata pedih yang tercermin di sana. Mahalnya pendidikan dan layanan kesehatan yang menjadi HAK seluruh bangsa menjadi cermin keterpurukan kita, 65 tahun setelah kita… katanya… “merdeka”. Pelosok-pelosok tanpa air bersih yang memadai, aliran listrik dan bahan makanan pokok yang mencukupi menjadi cermin kemunafikan kita, 65 tahun setelah kita… katanya… “merdeka”.
Jadi ternyata, kita BELUM MERDEKA DARI KEMISKINAN.
Dan di tengah KEBODOHAN, PENJAJAHAN, dan KEMISKINAN itu, beberapa kelompok masih saja meributkan masalah pornografi dan konsumsi minuman beralkohol, yang semuanya dikaitkan dengan agama, dalam hal ini agama Islam. Jangan menuduh dulu. Saya juga tidak anti-Islam. Sebagian besar anggota keluarga saya beragama Islam. Tapi yang benar saja... Membahas baju apa yang layak dipakai, khususnya untuk kaum Hawa dan melarang penjualan alkohol di bulan Ramadhan? Untuk apa itu? Jadi, di luar bulan Ramadhan, umat Islam boleh minum alkohol? Bukankah seharusnya kalian yang mengaku Muslim memang tidak selayaknya mengkonsumsi alkohol, baik di bulan Ramadhan atau bukan? Bukankah tidak ada bedanya antara bar ditutup atau dibuka, karena seharusnya kalian TIDAK berada di sana? Jadi, kalau ke pantai kita-kita kaum wanita ini harus berbusana serba tertutup? Jadi, tanpa menutupi rambut dengan jilbab, kita tak bisa masuk surga? Kalau Tuhan memang sejahat itu, saya sih tidak mau lagi menyembahNya. Tapi saya yakin, Tuhan tidak jahat. Tuhan itu baik, dan karena Dia baik, dia pasti tertawa terpingkal-pingkal dengan cara manusia menerjemahkan keinginan-keinginanNya.
Jadi ternyata, kita BELUM MERDEKA DARI POLA PIKIR DOGMATIS.
Dan di tengah KEBODOHAN, PENJAJAHAN, dan KEMISKINAN itu, kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah makin tidak masuk akal. Peraturan-peraturan makin tidak masuk akal. Kewajiban masuk jam 6.30 pagi di Jakarta “untuk menghindari macet” itu sangat tidak manusiawi. Kurikulum yang begitu berat, tapi hanya menyentuh ilmu-ilmu di “permukaan” saja, sama sekali tidak mencerdaskan. Guru-guru yang tidak bertindak sebagai pendidik, melainkan sekedar mengajar agar dapur mengebul, sama sekali tidak mencerahkan. Sistem “Ujian Akhir Nasional” yang menerapkan standarisasi, padahal sekolah-sekolah kita maupun tenaga-tenaga pendidik kita sama sekali belum standar, adalah sebuah pelecehan intelektual. Anak-anak yang seharusnya kita pacu untuk suka belajar justru menjadi malas dan kian sering memberontak, berbohong, menyontek dan melakukan hal-hal lain untuk membuat hidup mereka di tengah ketololan bangsa ini lebih bisa ditoleransi. Dan untuk itu, mereka kita hukum. Aneh.
Jadi ternyata, kita BELUM MERDEKA DARI KEPICIKAN.
Dan di tengah KEBODOHAN, PENJAJAHAN, dan KEMISKINAN itu, kalian… akhirnya… menyerukan gerakan “Indonesia Bersatu” atau “Indonesia Unite”. Saya bersama ini berterima kasih kepada para pelaku bom JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta, karena ternyata perlu tindakan sekeji itu untuk menyadarkan kita bahwa kita harus bersatu. Tidak semua orang mampu bertindak sekejam itu, tapi ternyata hanya kekejamanlah yang mampu membangunkan bangsa ini. Sebuah ironisme yang membuat saya geleng-geleng kepala takjub. Begitu pula saat negara tetangga kita, Malaysia, mengklaim batik sebagai hasil kreatifitas mereka. Tiba-tiba bangsa ini bangkit, marah luar biasa dan mulai mempromosikan, membeli dan mengenakan segala gaya batik pada setiap kesempatan. Saya bersama ini berterima kasih pada Malaysia, karena ternyata perlu sebuah tamparan yang memalukan untuk membangunkan kebanggaan bangsa ini terhadap kreasi seni dan budayanya sendiri. Sebuah ironisme yang membuat saya makin percaya bahwa mungkin memang sudah seharusnya kita dikejami dan dilecehkan, karena hanya kekejaman dan pelecehan yang NYATA yang sepertinya mampu membangunkan kita. Kalau begitu, bukankah sebaiknya kita kembali dijajah saja?
Jadi, maafkan saya jika saya satu-satunya yang tidak mengucapkan “Happy Independence Day” hari ini ataupun berteriak lantang, “MERDEKA!!!” maupun ikut-ikutan memakai lambang merah-putih sebagai tanda solidaritas dan keikutsertaan saya dalam gerakan trendy “Indonesia Unite” yang belakangan ini begitu marak dan penuh bangga diserukan. Karena menurut saya, kita BELUM MERDEKA.
Yang jelas, definisi berikut ini sama sekali tidak masuk akal sehat saya, yakni bahwa kita telah “merdeka” dari para penjajah selama 65 tahun. Karena begitu definisi itu diberikan kepada saya, muncul pertanyaan berikutnya: siapa para penjajah itu? Dan kalian pun akan menjawab, “Belanda dan Jepang”. Lagi-lagi jawaban itu akan memicu pertanyaan lain: tapi bukankah justru sekarang makin banyak sumber daya alam kita yang sebagian besar dikuasai bangsa asing – Amerika yang telah mengerek timah, emas dan beragam logam mulia kita, Jepang dengan usaha raksasa budidaya mutiaranya di pesisir Maluku Selatan yang kemudian mereka akui sebagai milik mereka dan mereka pajang di Mikimoto Pearl Island, Cina yang telah menjadi surga penyelundupan kayu dan satwa langka kita, belum lagi Australia, Jerman, Perancis, Belanda, Inggris dan berbagai bangsa lain yang datang dalam berbagai bentuk dan upaya, untuk kembali menguasai setiap sudut dari negeri ini? “Oh, itu lain,” dalih kalian. “Itu merupakan bentuk-bentuk perdagangan global – global trade – bukan penjajahan.” Begitukah?
Jangan salah, saya bukan orang yang anti-Eropa atau anti-Jepang atau anti-Cina atau anti-apapun juga. Laptop yang saya pakai untuk mengetik artikel inipun adalah buatan negara Paman Obama, bermerek Dell. Lemari es, AC, water dispenser, kompor, microwave dan bahkan mobil saya adalah buatan Negeri Sakura. Begitu pula kamera kesayangan saya, Canon D10 yang anti-air, anti-beku dan anti-guncangan, adalah produk Jepang. Benda-benda lain buatan Italia, Cina, Jerman, Inggris dan Perancis juga ada di rumah saya. Belum lagi kosmetik dan beragam aksesori serta pernak-pernik fesyen yang saya miliki. Hampir semuanya buatan asing.
Tapi itulah. Sebagian besar benda-benda itu saya beli karena kualitasnya yang sangat baik dan pelayanan pasca penjualannya (after-sales service) yang memuaskan. Intinya, kita sama sekali tidak tahu (atau tidak mau tahu) bagaimana caranya mengelola negara kita yang kaya raya ini, mengambil hasilnya dengan berkelanjutan tanpa menghadapkan generasi mendatang pada masalah-masalah lingkungan, memproduksi barang-barang berkualitas tinggi, dan melayani konsumen – baik sebelum maupun sesudah membeli barang – secara profesional dan memuaskan.
Jadi ternyata kita BELUM MERDEKA DARI KEBODOHAN.
Kita lebih suka menjual materi mentah berupa kayu ke luar negeri, yang kemudian disulap dengan begitu cantiknya oleh para produsen mebel di sana, diberi merek dan diekspor kembali ke negara kita untuk kita beli lagi dalam harga yang begitu tinggi. Kita lebih suka mengirim materi mentah berupa kayu manis ke luar negeri, yang kemudian diracik menjadi makanan lezat seperti cinnamon roll yang diakui orang Eropa sebagai “penganan khas” mereka. Padahal, tanpa kayu manis dari Indonesia, namanya mungkin hanya “roll” saja. Kita lebih suka mengekspor materi mentah berupa daun teh ke luar negeri, yang kemudian menjadi favorit Ratu Inggris. Favoritisme ini dijadikan nilai jual yang luar biasa dan tentunya, kita di Indonesia pun berebut membelinya demi gengsi, tanpa sadar bahwa daun teh tersebut sesungguhnya berasal dari kawasan perkebunan asri di selatan Bandung sana. Terlalu banyak contoh-contoh lainnya yang tak mungkin saya sebutkan satu per satu. Sumber daya alam kita hanya sekedar “numpang tumbuh” dan “numpang terbenam” di jajaran kepulauan ini, untuk nantinya dikuras habis demi memperkaya negara lain.
Rakyat kita – selain segelintir orang-orang kaya di kota besar – dapat apa? Tidak dapat apa-apa. Sebagian besar hanya bekerja sebagai buruh. Miskin, bodoh dan berpikiran sempit, mereka dengan mudah dipengaruhi dan diiming-imingi untuk menjual tanahnya, hutannya, ladangnya, sawahnya dan kebunnya. Mau bagaimana lagi? Percuma juga mengajarkan benefit jangka panjang akan kelestarian alam, jika perut mereka lapar, anak mereka harus sekolah, saudara mereka sakit keras dan malam-malam mereka gelap gulita tanpa listrik dan tanpa kemungkinan menembus batas antara si miskin dan si kaya. Benefit jangka panjang versus profit saat ini juga. Jelas profit yang menang. Dan itulah yang dipergunakan perusahaan-perusahaan besar untuk merampas kekayaan yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh bangsa. Dan yang lebih menyedihkan lagi, kini perusahaan-perusahaan itu tidak lagi semuanya milik bangsa asing. Perusahaan Indonesia pun sekarang melakukan pola “penjajahan” yang sama.
Ya, penjajahan itu kini dilakukan tak cuma oleh bangsa-bangsa asing yang sampai sekarang masih bercokol dan makin banyak di sini, melainkan juga oleh BANGSA KITA SENDIRI! Hanya saja bentuknya lain. Tidak lagi dengan todongan senjata dan kekerasan fisik, melainkan dengan intelektualitas tinggi. Intelektualitas yang seharusnya kita gunakan untuk menyejahterakan sesama, justru kita pakai untuk memperkaya diri sendiri.
Jadi ternyata, kita BELUM MERDEKA DARI PENJAJAHAN.
Selain itu, mari kita tengok angka pengangguran di negara ini, atau jumlah siswa-siswi di bangku sekolah, atau jumlah sarana dan tenaga medis, atau ketersediaan air bersih, listrik dan bahan makanan pokok di seluruh penjuru negeri. Pilih salah satu. Angka-angka itu tidak berteriak, “MERDEKA!” Sebaliknya, keluh lirih dan air mata pedih yang tercermin di sana. Mahalnya pendidikan dan layanan kesehatan yang menjadi HAK seluruh bangsa menjadi cermin keterpurukan kita, 65 tahun setelah kita… katanya… “merdeka”. Pelosok-pelosok tanpa air bersih yang memadai, aliran listrik dan bahan makanan pokok yang mencukupi menjadi cermin kemunafikan kita, 65 tahun setelah kita… katanya… “merdeka”.
Jadi ternyata, kita BELUM MERDEKA DARI KEMISKINAN.
Dan di tengah KEBODOHAN, PENJAJAHAN, dan KEMISKINAN itu, beberapa kelompok masih saja meributkan masalah pornografi dan konsumsi minuman beralkohol, yang semuanya dikaitkan dengan agama, dalam hal ini agama Islam. Jangan menuduh dulu. Saya juga tidak anti-Islam. Sebagian besar anggota keluarga saya beragama Islam. Tapi yang benar saja... Membahas baju apa yang layak dipakai, khususnya untuk kaum Hawa dan melarang penjualan alkohol di bulan Ramadhan? Untuk apa itu? Jadi, di luar bulan Ramadhan, umat Islam boleh minum alkohol? Bukankah seharusnya kalian yang mengaku Muslim memang tidak selayaknya mengkonsumsi alkohol, baik di bulan Ramadhan atau bukan? Bukankah tidak ada bedanya antara bar ditutup atau dibuka, karena seharusnya kalian TIDAK berada di sana? Jadi, kalau ke pantai kita-kita kaum wanita ini harus berbusana serba tertutup? Jadi, tanpa menutupi rambut dengan jilbab, kita tak bisa masuk surga? Kalau Tuhan memang sejahat itu, saya sih tidak mau lagi menyembahNya. Tapi saya yakin, Tuhan tidak jahat. Tuhan itu baik, dan karena Dia baik, dia pasti tertawa terpingkal-pingkal dengan cara manusia menerjemahkan keinginan-keinginanNya.
Jadi ternyata, kita BELUM MERDEKA DARI POLA PIKIR DOGMATIS.
Dan di tengah KEBODOHAN, PENJAJAHAN, dan KEMISKINAN itu, kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah makin tidak masuk akal. Peraturan-peraturan makin tidak masuk akal. Kewajiban masuk jam 6.30 pagi di Jakarta “untuk menghindari macet” itu sangat tidak manusiawi. Kurikulum yang begitu berat, tapi hanya menyentuh ilmu-ilmu di “permukaan” saja, sama sekali tidak mencerdaskan. Guru-guru yang tidak bertindak sebagai pendidik, melainkan sekedar mengajar agar dapur mengebul, sama sekali tidak mencerahkan. Sistem “Ujian Akhir Nasional” yang menerapkan standarisasi, padahal sekolah-sekolah kita maupun tenaga-tenaga pendidik kita sama sekali belum standar, adalah sebuah pelecehan intelektual. Anak-anak yang seharusnya kita pacu untuk suka belajar justru menjadi malas dan kian sering memberontak, berbohong, menyontek dan melakukan hal-hal lain untuk membuat hidup mereka di tengah ketololan bangsa ini lebih bisa ditoleransi. Dan untuk itu, mereka kita hukum. Aneh.
Jadi ternyata, kita BELUM MERDEKA DARI KEPICIKAN.
Dan di tengah KEBODOHAN, PENJAJAHAN, dan KEMISKINAN itu, kalian… akhirnya… menyerukan gerakan “Indonesia Bersatu” atau “Indonesia Unite”. Saya bersama ini berterima kasih kepada para pelaku bom JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta, karena ternyata perlu tindakan sekeji itu untuk menyadarkan kita bahwa kita harus bersatu. Tidak semua orang mampu bertindak sekejam itu, tapi ternyata hanya kekejamanlah yang mampu membangunkan bangsa ini. Sebuah ironisme yang membuat saya geleng-geleng kepala takjub. Begitu pula saat negara tetangga kita, Malaysia, mengklaim batik sebagai hasil kreatifitas mereka. Tiba-tiba bangsa ini bangkit, marah luar biasa dan mulai mempromosikan, membeli dan mengenakan segala gaya batik pada setiap kesempatan. Saya bersama ini berterima kasih pada Malaysia, karena ternyata perlu sebuah tamparan yang memalukan untuk membangunkan kebanggaan bangsa ini terhadap kreasi seni dan budayanya sendiri. Sebuah ironisme yang membuat saya makin percaya bahwa mungkin memang sudah seharusnya kita dikejami dan dilecehkan, karena hanya kekejaman dan pelecehan yang NYATA yang sepertinya mampu membangunkan kita. Kalau begitu, bukankah sebaiknya kita kembali dijajah saja?
Jadi, maafkan saya jika saya satu-satunya yang tidak mengucapkan “Happy Independence Day” hari ini ataupun berteriak lantang, “MERDEKA!!!” maupun ikut-ikutan memakai lambang merah-putih sebagai tanda solidaritas dan keikutsertaan saya dalam gerakan trendy “Indonesia Unite” yang belakangan ini begitu marak dan penuh bangga diserukan. Karena menurut saya, kita BELUM MERDEKA.
2 comments:
Kita berdua kalo gtu, Mba.. Aku juga absen dari segala pekik nasionalisme dan euphoria hari kemerdekaan kemarin. Entah kenapa rasanya tidak pantas untuk berteriak-teriak lantang, sementara kemerdekaan masih jadi sesuatu yang begitu surreal bagi sebagian orang.
Nice piece, Mba. As always.
thanks Din.. paling gak, i know our souls are free :-)
Post a Comment