Heran. Frustasi. Lalu prihatin. Sebuah artikel di rubrik “Opini & Editorial” pada Suara Pembaruan hari Kamis, 4 Desember 2008 yang bertajuk “Green Peace, Arogansi Kolonial”, telah memicu ketiga emosi tersebut dari kolom hati yang terdalam.
Diawali rasa heran karena ternyata masih saja ada yang berpikiran seperti ini. Keheranan itu berubah cepat menjadi frustasi kala menyadari bahwa pola pikir tersebutlah yang menyebabkan jutaan hektar hutan tropis kita, paru-paru planet ini, hilang tanpa bekas berikut keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Dan masih jutaan hektar lagi yang ada dalam perencanaan untuk digantikan dengan berbagai bentuk lain atas nama pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Keprihatinan terbit belakangan.
Tulisan ini hadir dari keprihatinan tersebut, dalam upaya untuk mengetuk nurani dan sekaligus membangkitkan potensi intelektualitas segenap putra bangsa agar tak lagi mudah percaya pada dogma yang tidak masuk akal, sehingga opini yang tercipta pun harus masuk akal. Semoga nurani dan intelektualitas masih ada.
Sawit dan Rakyat
Mari kita bicara dulu dari dampak sosial perkebunan kelapa sawit yang diklaim telah menyejahterakan lebih dari dua juta keluarga serta lebih dari dua juta keluarga lainnya melalui industri-industri penunjang usaha perkebunan kelapa sawit.
Mari kita tidak terlalu cepat melupakan bahwa dalam proses penggundulan hutan untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit, terutama perkebunan-perkebunan berskala besar, begitu banyak masyarakat yang telah kehilangan harta maupun nyawa karena konflik kepemilikan tanah maupun konflik-konflik lain yang berkaitan dengan perburuhan di perkebunan itu sendiri. Ekspansi perkebunan kelapa sawit juga telah menghancurkan sahaja kehidupan penduduk asli, berikut segenap kearifan lokal, tradisi dan adat istiadat yang pernah ada yang, suatu ketika dulu, sangat menghormati unsur-unsur alam.
Skema-skema sosial yang dibangun oleh perkebunan ini memang di kulitnya tampak cukup bertanggung-jawab dan sangat menggiurkan, bahkan mengharukan. Namun kenyataannya, kebanyakan skema ini tidak menguntungkan masyarakat sama sekali, melainkan melahirkan konflik-konflik baru. Masyarakat, yang sebagian besar mau tidak mau harus bekerja sebagai buruh perkebunan, memperoleh penghasilan kecil serta terus menerus berhadapan dengan berbagai bahaya dan resiko kesehatan. Lemahnya perlindungan hukum tambah memperburuk situasi.
Kisah ketegangan antara sebuah perusahaan kelapa sawit asal Inggris dengan masyarakat adat di daerah Manis Mata, Kalimantan Barat pada pertengahan 2002, hanyalah satu dari banyak sekali konflik serupa di Indonesia. Setelah berulang kali menyatakan penolakan terhadap kelapa sawit, penduduk Desa Terusan tak berdaya saat buldozer kontraktor menghancurkan hutan dan ladang mereka. Namun ketika buldozer menyentuh daerah sakral, yaitu pekuburan adat, masyarakat pun naik pitam. Mereka berhasil menyita buldozer dan menuntut agar denda adat dibayar. Baru setelah perusahaan Inggris ini diambil alih oleh perusahaan lain yang menjanjikan pendekatan baru, pertempuran sengit bisa dihindari. Namun sayangnya, janji inipun tinggal janji. Hanya sedikit yang dipenuhi. Selebihnya, seperti biasa, berakhir dengan jalan buntu.
Pembukaan lahan dengan cara membakar hutan juga menghasilkan konsekuensi sosial tersendiri, di antaranya adalah polusi dan gangguan kesehatan. Belum lagi efek yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida. Kesehatan perempuan, terutama sistem reproduksinya, adalah hal yang paling dirugikan akibat pencemaran lingkungan dengan pestisida ini. Racun pestisida yang menyebar melalui udara, tanah dan air ini merupakan pencetus timbulnya kanker, penurunan tingkat kesuburan perempuan dan gangguan sistem kekebalan tubuh. Di Sumatera Utara, kasus keracunan pestisida ini terbukti menyebabkan keguguran. Kalaupun kehamilan dapat dipertahankan, racun juga beresiko bagi embrio bayi dalam kandungan.
Intinya, kita tidak mungkin menutup mata, apalagi menyangkal, bahwa industri kelapa sawit di Indonesia adalah satu sektor ekonomi kita yang paling banyak dan paling sering didera konflik. Jadi, mari meninjau secara kritis. Apa benar sawit menjadi agen distribusi kesejahteraan? Sawit menyerap tenaga kerja, tidak dibantah. Tapi mari lihat kembali siapa saja yang memegang usaha sawit. Bukankah sawit banyak dipegang pengusaha dan banyak di antaranya adalah PMA? Apa peran rakyat selain jadi tenaga kerja? PIR? Ada berapa luasan PIR? Sekali lagi, ini generalisasi yang kebablasan. Janganlah menggunakan jargon lama atas nama rakyat dan kesejahteraan.
Sawit dan Lingkungan
Mari kini kita beralih pada dampak lingkungan yang menurut artikel “Green Peace, Arogansi Kolonial” itu merupakan rekayasa dari LSM-LSM asing yang ingin kembali menjajah kita. Betapa naifnya jika kita percaya pada klaim ini. Lebih naïf lagi jika kita percaya bahwa kita sudah merdeka. Kemerdekaan dari Belanda dan Jepang ternyata menjerumuskan kita ke dalam penjajahan lain yang disebabkan oleh sempitnya pola pikir dan keserakahan kita sendiri. Kita belum merdeka jika kita belum menyadari fakta di balik setiap pilihan kita. Industri kelapa sawit ini adalah salah satu contohnya. Sebuah fakta yang menjerumuskan.
Sangat menyentuh ketika dikatakan sawit menyerap karbon. Tidak bisa dibantah karena sawit adalah tanaman. Yang jadi pertanyaan adalah apakah pembukaan hutan gambut dan hutan alam menjadi kelapa sawit bisa diartikan bahwa peran sawit lebih baik dari hutan sebelumnya dalam perubahan iklim? Ketika hutan gambut dibuka, ada berapa banyak karbon yang lepas ke atmosfir? Tak hanya karbon, ada berapa banyak gas metan yang lepas ke atmosfir?
Sebagai informasi saja, gas metan adalah salah satu gas rumah kaca yang mampu bertahan di atmosfir lebih lama dibanding karbon dan setiap metrik ton metan setara dengan 23 metrik ton CO2. Gas metan adalah gas yang juga dihasilkan oleh perkebunan seperti ini, melalui penggunaan pupuk, pestisida dan berbagai proses penyuburan lainnya. Hasilnya, meskipun kelapa sawit memiliki kemampuan menyerap karbon, laju penyerapannya tidak seberapa dibandingkan laju emisi gas rumah kaca lain yang dilepaskan oleh perkebunan ini. Maka, ketika Indonesia mengkonversi lahan gambut dan hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit, sekali lagi, ada berapa banyak metan yang dilepas dari pembukaan gambut? Hal inipun menjadi salah satu penyebab Indonesia dinobatkan sebagai salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca di dunia.
Sawit dan LSM
Dan terakhir, mari kita tinjau tuduhan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), terutama yang berasal dari negara lain, adalah agen neo-kolonialisme. Bagaimana dengan industri kelapa sawit sendiri? Faktanya adalah begitu marak perkebunan kelapa sawit bermodal asing yang menggunakan lahan negeri ini dan tenaga kerja murah di negeri ini. Bahkan perusahaan-perusahaan asing seperti berlomba-lomba membuka usaha sawit di bumi pertiwi. Atas nama pembangunan, sumberdaya alam dilihat sebatas keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek ekologis, sosial, dan budaya yang juga melekat di dalamnya. Perusahaan swasta menjelma menjadi mesin-mesin pertumbuhan ekonomi. Hutan berubah fungsi menjadi alat produksi dan reproduksi yang dikuasai oleh dan untuk kepentingan segelintir kelompok saja, termasuk para pengusaha sawit di dalamnya.
Nah, mau dikategorikan apa perusahaan-perusahaan ini? Secara akal sehat, bukankah ini yang namanya neo-kolonialisme?
Reproduksi struktur sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di negara berkembang terbentuk mengikuti kepentingan negara-negara maju. Hubungan ekonomi satu negara dengan negara lain, atau dengan sistem perdagangan dunia, kemudian menciptakan hubungan ketergantungan ketika beberapa negara kuat memperluas kepentingan ekonominya. Sementara negara yang lebih lemah berada pada posisi tergantung, hanya dapat mereplikasi apa yang terjadi dan dilakukan oleh negara-negara sentral tersebut (Dos Santos, 1970).
Kondisi inilah yang terjadi pada industri sawit di Indonesia. Tak berdaya. Bergantung sepenuhnya pada sistem perdagangan dunia, pada “diktator” baru bernama pasar. Sudahlah hutan rusak, spesies langka semakin punah, konflik sosial tak terelakkan, merugi pula.
Sepanjang yang kami ketahui, LSM lingkungan hidup memang menentang perusahaan-perusahaan sawit mengambil alih dan mengkonversi hutan alam karena dampak sosial dan dampak lingkungan yang telah dicontohkan di atas. Lebih dari itu, LSM lingkungan hidup berupaya mempertahankan hutan-hutan alam yang masih tersisa, demi menyelamatkan masa depan Indonesia dan juga dunia. Orangutan dan beragam satwa dilindungi lainnya, tidak diberikan status perlindungan karena mereka lucu dan menggemaskan, melainkan karena eksistensi mereka dibutuhkan untuk memastikan hutan yang sehat dan lestari. Tanpa mereka, tidak akan ada hutan. Dan tanpa hutan, punah pula kita. Sebuah keterikatan yang sederhana.
Perubahan iklim bukanlah dongeng. Bukan pula intimidasi dan rekayasa. Perubahan iklim sedang terjadi saat ini juga dan kita bahkan telah merasakan dampaknya. Udara yang tambah panas, penyakit yang kian aneh dan beragam, serta berbagai bencana alam. Kita tengah menuai panen dari kerusakan alam yang kita lakukan. Ini adalah era konsekuensi. Tidak sadar jugakah kita? Ingatlah, Ibu Bumi tidak akan pernah kalah. Dia akan terus bertahan hidup, dengan atau tanpa spesies yang satu ini: manusia. Tinggal kita yang bertanya, apakah kita mau terus bertahan hidup dan mewariskan bumi ini pada anak cucu kita dalam kondisi yang bisa dan nyaman untuk dihuni? Investasi terpenting kita bagi masa depan sesungguhnya adalah alam ini beserta segala isinya.
Dan betul sekali bahwa negara-negara barat sudah kehilangan hutan alamnya demi pembangunan dan industrialisasi. Nah, jika kita sadar dan tahu kebodohan orang asing yang sudah menebang hutannya atas nama pembangunan, mengapa kita mau diajak oleh para pengusaha sawit untuk juga ikut bodoh? Jika memang para pengusaha mau membangun perkebunan kelapa sawit di lahan rakyat, berkolaborasi dengan rakyat, atau membangun di lahan terlantar yang butuh direboisasi, tidak ada yang melarang. Tentunya dengan berpegang pada prinsip-prinsip lingkungan yang telah ditentukan. Tapi janganlah berkedok ketulusan palsu dan menyalahkan para aktivis lingkungan dengan jargon neo-kolonialisme dan nasionalisme agar bisa membuka hutan alam dan merusak lingkungan.
Akhir kata, hanya satu kalimat saja. Buruk muka, jangan cermin tetangga yang dibelah.
*****
4 comments:
Very well written. Very very well written. Thanks for this article.
every time i publish something "heavy" like this, comment-nya cuma satu.. from you HAHAHAHAHA
thanks din.. so good to know i'm not alone :)
bener banget tu, saya sangat sependapat..bahkan PT sawit memang seperti bedebah ditempat saya...logika2 yang diapakai untuk membela kepentingan2 sawit memang patut dihajar..salam kenal..salut buat artikel yg ini
selain batu bara, kini sawit adalah 'komoditi' dlm beragam pengertian, kawan. sawit telah mnjelma menjadi -juga- komoditi politik; Org terkaya indonesia dr deret 1 -100 adalah dominan pemilik perkebunan sawit. dan anda tahu, mereka adalah cukong parpol dan penguasa (bupati/gubernur). mereka butuh penguasa utk mengamankan lahannya dan penguasa butuh mereka utk mengamankan kekuasaannya..
Post a Comment