April 18, 2010

How Tarot Cards Work


Tarot-card Philosophy

How can randomly drawn cards have any relevance to someone's life and what's happening in it? What most readers say, the Tarot can enlighten you about the choices you have. The cards don't tell you what you should do or what specifically is going to happen in your future, but rather the possibilities, depending on the path you take. Let's look at some of the theories behind how Tarot cards could possibly work.

Synchronicity
Carl Jung believed that in addition to the repeatable cause-and-effect relationships on which the scientific world is so strongly based, there is also another connecting principle that does not share that cause-and-effect relationship. He called this principle synchronicity. According to Jung, synchronicity explains the guiding forces in the universe. Things we might see as coincidence are actually signs that can help us make decisions and guide our lives -- if we recognize them.

Jung believed that quantum mechanics could be a possible explanation for the phenomenon of synchronicity. (Quantum mechanics explains the relationships of particles and their random interconnectivity, with behaviors being probabilities rather than certainties.) There are those who believe that because the forces of quantum mechanics affect the reality of physical objects, Tarot cards might play the role of showing us paths and patterns and helping us understand the meaning in those guiding energies. Although, according to the principles of quantum mechanics, once you see the possible outcomes in the Tarot reading, you've changed the probabilities. While Jung did not study Tarot, he was interested in I Ching (another divination tool) and suggested that synchronicity could be an explanation for how I Ching might work for divination.

Projecting
Some say, it all boils down to your subconscious mind. Arguably, how we perceive things relies heavily on our subconscious, and there are those who believe that with Tarot, the subconscious projects its own interpretations on the Tarot cards. As a person receiving a Tarot reading, your interpretation of the cards is a result of the factors in your life that shape who you are and what you are about. The questions you have about your life (usually the reason for consulting the Tarot in the first place) are projected onto the pictures, so you define answers from what you see. In this way, the Tarot is useful in helping us tap into our subconscious to find answers that we might never consciously think of. The
 Rorschach inkblot test uses a similar principle to look into the subconscious. Whether you believe that Tarot cards hold any power or ability to shed light on your life, your problems or your future might depend on how easily you can open your mind to the idea of it. Many Tarot-card readers have differing ideas about how or why the Tarot works. In fact, some say we only need the Tarot to help us until we learn to get in touch with our "inner guide" on our own.

Tarot-Card History: Are They Really That Ancient?

According to Tarot historian Tom Tadfor Little, traditional playing cards were first seen in Europe in 1375, having been brought over from the Islamic societies where they had been used for centuries before that. These cards were not, however, Tarot cards. At this point, he says, there is no evidence to show that Tarot cards had yet been created, which goes against many claims that ordinary playing cards evolved from the original Tarot deck.

It wasn't until 1440 that the cards that were most likely the origin of Tarot cards were first mentioned. In a letter from the Duke of Milan, there was a request for several decks of "triumph" cards to be used at a special event. The letter differentiated triumph cards from regular "playing" cards.

It does appear, however, that the first Tarot decks were created as a game. There were four suits with cards numbered one through ten and also court cards that included a queen, king, knight and page. The deck also included 22 symbolic picture cards that did not belong to any suit. The decks were used to play a game called triumph that was similar to bridge. In triumph, 21 of the 22 special picture cards were permanent trump cards. The game spread quickly to all parts of Europe. People began referring to it as tarocchi, which is an Italian version of the French word tarot, around 1530.

In 1781, in France and England, followers of the occult discovered Tarot cards. They saw the symbolic pictures of the cards as having more meaning than the simple trump cards they were used for at the time. They used the cards as a divination tool, and occult writers wrote about "the Tarot." After this, the Tarot became a part of occult philosophy.

There are also those who believe that Tarot cards originated in Egypt. In some circles, they are thought to be the sole surviving "book" from the great fire that burned the libraries of ancient Egypt. In this theory, the cards are considered to be the hieroglyphical keys to life.

For more information on Tarot cards, Tarot-card reading and related topics, check out these links.

Sources
·         Aeclectic Tarot: Tarot Deck Categories, http://www.aeclectic.net/tarot/cards/categories.shtml
·       American Tarot Association, http://www.ata-tarot.com/
·       Crystalinks: Tarot, http://www.crystalinks.com/tarot.html
·       The Hermitage: A Tarot History Site, http://www.tarothermit.com/
·       Learning the Tarot, http://www.learntarot.com/course.htm
·       RealMagick, http://realmagick.com/main/home.html
·       Salem Tarot, http://www.salemtarot.com/contents.html
·       The Skeptic's Dictionary: Tarot Cards, http://skepdic.com/tarot.html
·       Synchronicity Times: What is Synchronicity?, http://www.ropi.net/st/what_is_synchronicity.htm
·       Tarot Certification Board of America, http://www.tarotcertification.org/
·       TarotMoon: Quantum Physics, Synchronicity and the Tarot, http://www.tarotmoon.com/articles/Quantum/quantum.html

April 12, 2010

Balada Kelapa Sawit

written by Rini Sucahyo[1] & Jamartin Sihite[2] - December 2008


Heran. Frustasi. Lalu prihatin. Sebuah artikel di rubrik “Opini & Editorial” pada Suara Pembaruan hari Kamis, 4 Desember 2008 yang bertajuk “Green Peace, Arogansi Kolonial”, telah memicu ketiga emosi tersebut dari kolom hati yang terdalam.

Diawali rasa heran karena ternyata masih saja ada yang berpikiran seperti ini. Keheranan itu berubah cepat menjadi frustasi kala menyadari bahwa pola pikir tersebutlah yang menyebabkan jutaan hektar hutan tropis kita, paru-paru planet ini, hilang tanpa bekas berikut keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Dan masih jutaan hektar lagi yang ada dalam perencanaan untuk digantikan dengan berbagai bentuk lain atas nama pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Keprihatinan terbit belakangan.

Tulisan ini hadir dari keprihatinan tersebut, dalam upaya untuk mengetuk nurani dan sekaligus membangkitkan potensi intelektualitas segenap putra bangsa agar tak lagi mudah percaya pada dogma yang tidak masuk akal, sehingga opini yang tercipta pun harus masuk akal. Semoga nurani dan intelektualitas masih ada.


Sawit dan Rakyat

Mari kita bicara dulu dari dampak sosial perkebunan kelapa sawit yang diklaim telah menyejahterakan lebih dari dua juta keluarga serta lebih dari dua juta keluarga lainnya melalui industri-industri penunjang usaha perkebunan kelapa sawit.

Mari kita tidak terlalu cepat melupakan bahwa dalam proses penggundulan hutan untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit, terutama perkebunan-perkebunan berskala besar, begitu banyak masyarakat yang telah kehilangan harta maupun nyawa karena konflik kepemilikan tanah maupun konflik-konflik lain yang berkaitan dengan perburuhan di perkebunan itu sendiri. Ekspansi perkebunan kelapa sawit juga telah menghancurkan sahaja kehidupan penduduk asli, berikut segenap kearifan lokal, tradisi dan adat istiadat yang pernah ada yang, suatu ketika dulu, sangat menghormati unsur-unsur alam.

Skema-skema sosial yang dibangun oleh perkebunan ini memang di kulitnya tampak cukup bertanggung-jawab dan sangat menggiurkan, bahkan mengharukan. Namun kenyataannya, kebanyakan skema ini tidak menguntungkan masyarakat sama sekali, melainkan melahirkan konflik-konflik baru. Masyarakat, yang sebagian besar mau tidak mau harus bekerja sebagai buruh perkebunan, memperoleh penghasilan kecil serta terus menerus berhadapan dengan berbagai bahaya dan resiko kesehatan. Lemahnya perlindungan hukum tambah memperburuk situasi.

Kisah ketegangan antara sebuah perusahaan kelapa sawit asal Inggris dengan masyarakat adat di daerah Manis Mata, Kalimantan Barat pada pertengahan 2002, hanyalah satu dari banyak sekali konflik serupa di Indonesia. Setelah berulang kali menyatakan penolakan terhadap kelapa sawit, penduduk Desa Terusan tak berdaya saat buldozer kontraktor menghancurkan hutan dan ladang mereka. Namun ketika buldozer menyentuh daerah sakral, yaitu pekuburan adat, masyarakat pun naik pitam. Mereka berhasil menyita buldozer dan menuntut agar denda adat dibayar. Baru setelah perusahaan Inggris ini diambil alih oleh perusahaan lain yang menjanjikan pendekatan baru, pertempuran sengit bisa dihindari. Namun sayangnya, janji inipun tinggal janji. Hanya sedikit yang dipenuhi. Selebihnya, seperti biasa, berakhir dengan jalan buntu.

Pembukaan lahan dengan cara membakar hutan juga menghasilkan konsekuensi sosial tersendiri, di antaranya adalah polusi dan gangguan kesehatan. Belum lagi efek yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida. Kesehatan perempuan, terutama sistem reproduksinya, adalah hal yang paling dirugikan akibat pencemaran lingkungan dengan pestisida ini. Racun pestisida yang menyebar melalui udara, tanah dan air ini merupakan pencetus timbulnya kanker, penurunan tingkat kesuburan perempuan dan gangguan sistem kekebalan tubuh. Di Sumatera Utara, kasus keracunan pestisida ini terbukti menyebabkan keguguran. Kalaupun kehamilan dapat dipertahankan, racun juga beresiko bagi embrio bayi dalam kandungan.

Intinya, kita tidak mungkin menutup mata, apalagi menyangkal, bahwa industri kelapa sawit di Indonesia adalah satu sektor ekonomi kita yang paling banyak dan paling sering didera konflik. Jadi, mari meninjau secara kritis. Apa benar sawit menjadi agen distribusi kesejahteraan? Sawit menyerap tenaga kerja, tidak dibantah. Tapi mari lihat kembali siapa saja yang memegang usaha sawit. Bukankah sawit banyak dipegang pengusaha dan banyak di antaranya adalah PMA? Apa peran rakyat selain jadi tenaga kerja? PIR? Ada berapa luasan PIR? Sekali lagi, ini generalisasi yang kebablasan. Janganlah menggunakan jargon lama atas nama rakyat dan kesejahteraan.


Sawit dan Lingkungan

Mari kini kita beralih pada dampak lingkungan yang menurut artikel “Green Peace, Arogansi Kolonial” itu merupakan rekayasa dari LSM-LSM asing yang ingin kembali menjajah kita. Betapa naifnya jika kita percaya pada klaim ini. Lebih naïf lagi jika kita percaya bahwa kita sudah merdeka. Kemerdekaan dari Belanda dan Jepang ternyata menjerumuskan kita ke dalam penjajahan lain yang disebabkan oleh sempitnya pola pikir dan keserakahan kita sendiri. Kita belum merdeka jika kita belum menyadari fakta di balik setiap pilihan kita. Industri kelapa sawit ini adalah salah satu contohnya. Sebuah fakta yang menjerumuskan.

Sangat menyentuh ketika dikatakan sawit menyerap karbon. Tidak bisa dibantah karena sawit adalah tanaman. Yang jadi pertanyaan adalah apakah pembukaan hutan gambut dan hutan alam menjadi kelapa sawit bisa diartikan bahwa peran sawit lebih baik dari hutan sebelumnya dalam perubahan iklim? Ketika hutan gambut dibuka, ada berapa banyak karbon yang lepas ke atmosfir? Tak hanya karbon, ada berapa banyak gas metan yang lepas ke atmosfir?

Sebagai informasi saja, gas metan adalah salah satu gas rumah kaca yang mampu bertahan di atmosfir lebih lama dibanding karbon dan setiap metrik ton metan setara dengan 23 metrik ton CO2. Gas metan adalah gas yang juga dihasilkan oleh perkebunan seperti ini, melalui penggunaan pupuk, pestisida dan berbagai proses penyuburan lainnya. Hasilnya, meskipun kelapa sawit memiliki kemampuan menyerap karbon, laju penyerapannya tidak seberapa dibandingkan laju emisi gas rumah kaca lain yang dilepaskan oleh perkebunan ini. Maka, ketika Indonesia mengkonversi lahan gambut dan hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit, sekali lagi, ada berapa banyak metan yang dilepas dari pembukaan gambut? Hal inipun menjadi salah satu penyebab Indonesia dinobatkan sebagai salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca di dunia.


Sawit dan LSM

Dan terakhir, mari kita tinjau tuduhan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), terutama yang berasal dari negara lain, adalah agen neo-kolonialisme. Bagaimana dengan industri kelapa sawit sendiri? Faktanya adalah begitu marak perkebunan kelapa sawit bermodal asing yang menggunakan lahan negeri ini dan tenaga kerja murah di negeri ini. Bahkan perusahaan-perusahaan asing seperti berlomba-lomba membuka usaha sawit di bumi pertiwi. Atas nama pembangunan, sumberdaya alam dilihat sebatas keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek ekologis, sosial, dan budaya yang juga melekat di dalamnya. Perusahaan swasta menjelma menjadi mesin-mesin pertumbuhan ekonomi. Hutan berubah fungsi menjadi alat produksi dan reproduksi yang dikuasai oleh dan untuk kepentingan segelintir kelompok saja, termasuk para pengusaha sawit di dalamnya.

Nah, mau dikategorikan apa perusahaan-perusahaan ini? Secara akal sehat, bukankah ini yang namanya neo-kolonialisme?

Reproduksi struktur sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di negara berkembang terbentuk mengikuti kepentingan negara-negara maju. Hubungan ekonomi satu negara dengan negara lain, atau dengan sistem perdagangan dunia, kemudian menciptakan hubungan ketergantungan ketika beberapa negara kuat memperluas kepentingan ekonominya. Sementara negara yang lebih lemah berada pada posisi tergantung, hanya dapat mereplikasi apa yang terjadi dan dilakukan oleh negara-negara sentral tersebut (Dos Santos, 1970).

Kondisi inilah yang terjadi pada industri sawit di Indonesia. Tak berdaya. Bergantung sepenuhnya pada sistem perdagangan dunia, pada “diktator” baru bernama pasar. Sudahlah hutan rusak, spesies langka semakin punah, konflik sosial tak terelakkan, merugi pula.

Sepanjang yang kami ketahui, LSM lingkungan hidup memang menentang perusahaan-perusahaan sawit mengambil alih dan mengkonversi hutan alam karena dampak sosial dan dampak lingkungan yang telah dicontohkan di atas. Lebih dari itu, LSM lingkungan hidup berupaya mempertahankan hutan-hutan alam yang masih tersisa, demi menyelamatkan masa depan Indonesia dan juga dunia. Orangutan dan beragam satwa dilindungi lainnya, tidak diberikan status perlindungan karena mereka lucu dan menggemaskan, melainkan karena eksistensi mereka dibutuhkan untuk memastikan hutan yang sehat dan lestari. Tanpa mereka, tidak akan ada hutan. Dan tanpa hutan, punah pula kita. Sebuah keterikatan yang sederhana.

Perubahan iklim bukanlah dongeng. Bukan pula intimidasi dan rekayasa. Perubahan iklim sedang terjadi saat ini juga dan kita bahkan telah merasakan dampaknya. Udara yang tambah panas, penyakit yang kian aneh dan beragam, serta berbagai bencana alam. Kita tengah menuai panen dari kerusakan alam yang kita lakukan. Ini adalah era konsekuensi. Tidak sadar jugakah kita? Ingatlah, Ibu Bumi tidak akan pernah kalah. Dia akan terus bertahan hidup, dengan atau tanpa spesies yang satu ini: manusia. Tinggal kita yang bertanya, apakah kita mau terus bertahan hidup dan mewariskan bumi ini pada anak cucu kita dalam kondisi yang bisa dan nyaman untuk dihuni? Investasi terpenting kita bagi masa depan sesungguhnya adalah alam ini beserta segala isinya.

Dan betul sekali bahwa negara-negara barat sudah kehilangan hutan alamnya demi pembangunan dan industrialisasi. Nah, jika kita sadar dan tahu kebodohan orang asing yang sudah menebang hutannya atas nama pembangunan, mengapa kita mau diajak oleh para pengusaha sawit untuk juga ikut bodoh? Jika memang para pengusaha mau membangun perkebunan kelapa sawit di lahan rakyat, berkolaborasi dengan rakyat, atau membangun di lahan terlantar yang butuh direboisasi, tidak ada yang melarang. Tentunya dengan berpegang pada prinsip-prinsip lingkungan yang telah ditentukan. Tapi janganlah berkedok ketulusan palsu dan menyalahkan para aktivis lingkungan dengan jargon neo-kolonialisme dan nasionalisme agar bisa membuka hutan alam dan merusak lingkungan.

Akhir kata, hanya satu kalimat saja. Buruk muka, jangan cermin tetangga yang dibelah.

*****


[1] Konsultan Hubungan Masyarakat dan Komunikasi, dan Penulis Lepas, Jakarta
[2] Pemerhati Lingkungan, Jakarta